Hallo! Readers! Pagi! masih pagi kan ya? Siapa nih yang gak sabar nungguin Exclusive First Chapter Marriage Deal. Kalau sayasih yes!
Tadi aja aku bacanya sambil senyum-senyum sendiri. haah! Mudah-mudahan gak disangka orang gila. sebenarnya iya sih. saya lagi tergila-gila nih sama novel romance satu ini. Kak Marisa Umami sukses deh bikin saya jatuh cinta ke Mas Agam (Mas? hah? ya bebas lah yah Abang juga boleh), bahkan hanya baru first chapter. Beneran gak sabar pengen lahap habis sampai tuntas-tas-tas.
Makanya kamu juga wajib baca Exclusive First Chapter-nya ya! Selamat membaca dan jatuh cinta.
PROLOG
Funny faces in sunny places
Being love it feels so great
And all I need is two ingredients:
My buttercup, and the perfect place
Me and you, here’s what we’ll do
Walk hand in hand, into lover’s land
You’re the best
And I can’t resist a kiss on the lips1
"Hah!" dengusku begitu membaca deretan kalimat sok puitis yang tertulis di atas selembar tisu makan lembut berwarna putih cemerlang. Aku menurunkan kacamata hitamku hingga ke ujung hidung. Tinta hitam yang tercetak tegas membentuk rangkaian alfabet itu masih memenuhi
pandanganku.
Kuperbaiki posisi syal rajut tebal yang meliliti leher sampai
menutupi separuh wajah. Mataku lalu mengekor dua orang yang baru saja
meninggalkan meja dan melenggang keluar dari restoran. Dari balik dinding kaca, aku mengawasi mereka melangkah gontai ke
area parkir di sayap kiri bangunan. Jaraknya cukup dekat sehingga aku masih
bisa melihat jelas wajah keduanya. Si
perempuan bertubuh molek tersenyum sambil menyelipkan belahan samping rambut
berpotongan bob miliknya ke belakang telinga saat si lelaki membukakan pintu
mobil untuknya. Laki-laki itu tampak tersenyum saat melangkah menuju pintu
kemudi.
“Bisa kita makan sekarang?” suara bosan
Tami memecah konsentrasiku.
“Bagaimana menurutmu? Mereka berdua ada
hubungan spesial, kan?” tanyaku balik. Mataku masih mengawasi mobil yang
bergerak menjauhi restoran.
“Kelihatannya perempuan itu cuma klien,”
kata Tami dengan nada amat meyakinkan. Aku tak tahu bagaimana dia bisa seyakin
itu.“Lihat, lihat!” kataku
menyodorkan tisu di tanganku.
“Hmm... sweet. Tapi, menurutku puisi ini bukan untuk perempuan itu. Mungkin
ini buat kamu malahan.”
Aku memutar bola mata mendengar komentar
yang sangat tidak rasional itu. Puisi ini untukku? Tidak mungkin. Namun, aku
tak bisa me- nahan diri untuk tak bertanya mengapa pikiran itu bisa muncul di
kepala Tami. “Kenapa begitu?”
“Karena dia meninggalkannya di sini,
bukannya ngasih ke perempuan itu.”
Aku mengernyit, masih tak paham dengan
jalan pikiran Tami. Mung- kin perutnya yang lapar membuat dirinya menjawab
secara asal. “Alasan yang cukup masuk akal adalah... penyamaranmu sudah terbongkar.
Jadi, stop bertingkah jadi detektif
konyol begini dan berbahagialah untuk pernikahan kalian minggu depan.”
BAB 1
“Happy wedding, Lian!”
Ratusan tamu bergiliran mengucapkan selamat ke atas panggung pelaminan yang dipenuhi dekorasi bunga mawar. Tinggi panggung itu kurang lebih tiga puluh sentimeter dari permukaan lantai. Beberapa pelayan hotel yang mengenakan rompi merah tampak berseliweran di antara meja-meja bundar. Mereka hilir mudik menawarkan berbagai penganan pesta kepada para tamu. Tiap kali mataku tertumbuk pada pinggan-pinggan lebar berisi aneka canape yang mereka bawa, kelenjar
ludahku serasa berproduksi ekstra.
Gigiku bergemeletuk saat melihat kakak perempuanku satu-satunya itu sedang sibuk di sisi kanan kolam renang. Dia kelihatan begitu bahagia mengatur tempat duduk untuk para tamu, yang dengan patuh menuruti dress-code yang telah ditentukan
olehnya: merah putih. Aku menelan ludah. Juga menelan penyesalan atas
keputusanku untuk menyerahkan segala tetek bengek resepsi ini kepadanya. Kalau
saja dia menambahkan umbul-umbul merah putih, maka dia sukses menyulap pesta
pernikahanku menjadi perayaan tujuh belasan yang tak terlupakan. Ya, aku tak
akan bisa lupa bahwa untuk malam ini mungkin aku telah menjadi pengantin paling
nasionalis se-Indonesia Raya.
Papa dan Mama tampak tak kalah bahagianya.
Walau rambutnya mulai memutih, Papa masih terlihat gagah dengan balutan jasnya.
Sebuah senyum kecil merekah di wajah yang biasanya sekaku batu itu. Sedangkan
Mama tampil anggun dalam kebaya putih berpadukan rok dan selendang batik merah,
yang dijahit khusus dan seragam bersama besannya. Lantunan nada Marriage D’Amour yang dibawakan oleh
seorang pianis lokal terdengar di udara, mengiringi canda tawa mereka.
Aku menyambut tetamu yang hadir dengan
wajah paling semri- ngah yang bisa kutampilkan. Satu set senyuman lebar dan
ucapan terima kasih seolah sudah di-template
oleh otakku. Alhasil, otot-otot pipiku kaku akibat terlalu banyak
tersenyum. Mungkin setelah ini aku harus mengatur jadwal konsultasi dengan ahli
fisioterapi.
Berbagai aroma parfum yang silih berganti
masuk ke hidung lama- kelamaan membuatku pening. Kepalaku berdenyut-denyut. Dan
itu diperparah dengan adanya sebuah mahkota cantik, yang walaupun sebenarnya
tak begitu berat, tapi terasa menusuk kulit kepalaku. Selama sepersekian detik
pandanganku mengabur. Mataku berkunang-kunang. Hampir saja aku terjungkal ke
depan kalau tidak ada tangan yang keburu menahanku untuk tetap berdiri tegak.
Aku melirik sosok lelaki di samping
kananku, yang tampak gagah dalam balutan tuksedo putih lengkap dengan bow-tie merah cerah. Sebelah alis
menonjol yang menaungi matanya terangkat. “Are
you okay?”
Aku bergidik. Entah karena pori-pori pada
lengan gaunku, air kolam yang mulai mengembun, atau lantaran tatapannya yang
dingin.
“A-aku... I’m fine. Thanks.”
Agam, lelaki yang pagi tadi telah resmi
menjadi suamiku itu tersenyum menyeringai. Ada gerakan halus di sekitar tulang
pipinya. Perlahan dia melepas cengkeramannya dari kedua lenganku.
Sial! Makiku dalam hati. Seharusnya aku tidak perlu gelagapan menjawab
pertanyaannya.
Aku menarik napas panjang dan mencoba
bersikap sesantai mung- kin. Namun, butuh upaya ekstra untuk itu sebab gaun
yang kukenakan tiba-tiba saja terasa begitu mencekik di tubuhku. Dadaku sesak.
Rasanya kelima lobus paru-paruku
berniat untuk menerobos kungkungan tulang rusuk yang melindunginya.
Untuk menunjukkan bahwa aku tak
terpengaruh oleh gestur yang baru saja dilakukannya, kucoba menampilkan pose
mesra tiap kali ada tamu undangan yang mengajak berfoto bersama, seolah hal itu
adalah hal biasa. Mulai dari mengaitkan lengan sampai berusaha menyandar- kan
kepala di ujung bahunya, yang agak sulit bagiku mengingat tubuh- nya yang lebih
jangkung—mungkin hampir 180 sentimeter.
Aku tak tahu berapa banyak frame yang telah dihabiskan tim foto-
grafer untuk mengabadikan setiap momen kami. Aku hanya berharap pesta ini bisa
segera usai. Sayangnya, tamu tak berhenti berdatangan. Aku jadi bertanya-tanya
dalam hati, berapa banyak sebenarnya undang- an yang disebar oleh Kak Linda?
Seingatku, aku mengatakan padanya untuk membuat pesta kecil-kecilan saja.
Cukuplah tamu dari kalangan keluarga dan teman-teman dekat.
Aku baru bisa bernapas lega ketika Mama dan
Kak Linda membimbingku masuk ke salah satu kamar berukuran deluxe, yang dipenuhi dekorasi mawar merah putih. Aku mendudukkan
diri di atas tempat tidur jumbo yang dilapisi seprai berbahan amat lembut. Bulu
kudukku meremang membayangkan aku akan menghabiskan malam di tempat ini bersama
seorang lelaki.
Sebuah cermin besar di meja rias
menampakkan bayangan diriku. Gaun berlengan panjang dengan potongan leher agak
rendah membalut tubuhku dengan ketat. Bahan brokat Prancis yang dipadu kain
sutera lembut dan beberapa permata membuat gaun itu tampak elegan. Aku menyukai
modelnya yang sederhana. Dari sekian banyak detail pesta, kurasa gaun inilah
satu-satunya yang tidak kusesali.
Dan harus kuakui, dengan polesan make-up yang tak gampang luntur ini, aku
merasa lebih cantik dari biasa. Riasan yang tak terlalu tebal, membuat mataku
yang seperti bulan separuh jadi kelihatan lebih besar. Aku juga suka bagaimana
penata riasku memilih memoles gincu warna pink
lembut di bibirku yang cukup tebal, alih-alih warna merah menya- la. Meski
begitu, aku tetap bisa melihat kerutan kecil yang muncul di keningku.
Mama sepertinya menangkap raut kecemasan
di wajahku. Dia menarik tanganku ke atas pangkuannya dan menepuk-nepuknya
dengan pelan. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya mengangguk dan ter- senyum
menenangkan. Namun, aku tidak merasa tenang sama sekali. Rasanya, aku seperti
sedang menjalani ritual perpisahan sebelum menghadapi eksekusi. Seperti
narapidana kasus narkoba yang akan ditembak mati. Seperti seekor sapi yang akan
dikurbankan pada hari raya lebaran haji. Seperti… yah, seperti itulah
kira-kira.
Sesaat sebelum Mama akhirnya keluar dari
kamar dan meninggalkanku berdua saja dengan Kak Linda, sejujurnya aku ingin
sekali memintanya untuk tinggal lebih lama. Namun, entah kenapa aku tak bisa
melakukan itu. Aku hanya memeluknya erat dengan sebersit perasaan bersalah.
Sepeninggalannya, Kak Linda mulai membantuku ganti pakaian.
“Wajar kalau kamu gugup, Lian.” Kak Linda
melepas mahkota kecilku dan meletakkannya di meja rias. “Saat malam pertama
dulu, kakak juga gugup setengah mati,” katanya tanpa sungkan. “Bahkan, saat
sudah berdua dengan papanya Gio pun, masih saja gugup.”
Aku cuma bisa meringis dan membiarkannya
membebaskan rambutku dari jepitan bobby
pin yang tak terhitung jumlahnya.
“Semua akan berlangsung alamiah. Percaya,
deh. Kamu hanya perlu mengikuti instingmu.”
Kupaksakan sebuah senyum kecil di bibirku
yang lelah sambil melepas kalung dan antingku. Dalam hati, aku menolak saran
itu. Selama otakku masih bisa berfungsi dengan normal, aku tak akan pernah
membiarkan insting mengambil alih kesadaran diriku.
Kak Linda mengeluarkan sehelai lingerie merah dari dalam lemari dan
menyerahkannya padaku. Aku hanya bisa menatap pakaian itu dengan ngeri.
Seketika, aku merindukan piama Doraemon-ku di rumah.
“Haruskah?” protesku
dengan wajah memelas.
“He-eh.” Kak Linda mengangguk mantap.
“Singkirkan rasa malumu! Pikirkan segala hal yang menyenangkan. Biarkan—“
Bunyi pintu dibuka dari luar membuat Kak
Linda berhenti bicara. Aku menjulurkan leher untuk melihat siapa gerangan
malaikat baik hati yang datang menginterupsi kuliah pengantar malam pertama
dari kakakku.
Deg.
Aku meremas kain di tanganku ketika melihat Agam
muncul bersama si kecil Gio dalam gendongannya. Hah! Sejak kapan mereka akrab
begitu? Gio biasanya paling rewel kalau bertemu orang baru.
“Sepertinya Gio sudah ngantuk, Mbak,” kata
Agam sembari mengusap kepala balita yang matanya tampak tinggal ‘lima Watt’
itu.
“Ah ya ini memang sudah lewat jam
tidurnya.” Kak Linda meng- ambil Gio dari Agam dan menukarnya dengan sisir.
“Kalau gitu Kakak tinggal ya. Sampai ketemu besok di rumah.”
Kami berdua kompak mengangguk. Kak Linda
mengerling padaku sebelum keluar dari kamar. Wajah bingung Agam tampak jelas
saat menatap sisir di tangannya. Dia mengangkat sebelah jari dan mengusap
hidungnya yang bengkok bak paruh burung rajawali, beralih menatapku sebelum
mengangguk-angguk. Aku bersumpah melihat seulas senyum jail tersungging di
bibirnya. Apa yang dia rencanakan?
“We’re alone, now,” ujarnya sambil melangkah mendekat.
Aku menghindar saat dia mengulurkan tangan
untuk menyisir rambutku. “Yes, we are.
Tapi yang kamu maksud adalah... you’re
alone and I’m alone. Right?”
Kening Agam berkerut mendengar ucapanku.
Sebuah senyuman sinis muncul dari sudut-sudut bibirnya. “So, it’s not we, not us. Just you.
Just me. Seperti itu?”
“Tepat!” sambarku cepat. “Kurasa aku sudah
mengatakannya dengan jelas padamu sebelumnya.”
“Yah, amat sangat jelas.” Agam
mencengkeram kedua pundakku dengan pelan lalu mengarahkan wajahku ke depan
cermin. Tanpa memedulikan protesku, dia mulai menyisir rambutku yang untungnya
tak disemprot banyak hair spray.
“Kenapa?” tanyanya saat melihatku
merengut. “Bahkan ini pun nggak boleh?”
“Kita sudah membicarakan soal ini. Kita
sudah sepakat, kan?”
“Kesepakatan ditentukan oleh kedua belah pihak, Bu Dokter.
Aku nggak pernah bilang setuju.”
“Tapi kamu juga nggak
bilang nggak setuju,” tukasku tajam.
Agam tak membantah. Dia menghentikan
aktivitas menyisirnya dan menurunkan wajah sampai beberapa senti di atas bahu
kananku. Dari sudut-sudut mataku, kulihat dia menoleh kepadaku. Selama bebe-
rapa saat dia hanya diam dalam posisi itu. Embusan napasnya menerpa leherku dan
membuat bulu-bulu halus di sana menegak. Aku tak bisa menghentikan debaran
jantungku saat menghirup aroma menyenangkan yang menguar darinya.
“Jangan coba-coba merangkak naik ke
ranjangku!” kataku setelah berhasil menguasai diri. “Kamu tidur di sofa.”
“Kenapa? Kamu bakal lapor
ke polisi?” tanyanya ketus.
Aku
menelan ludah. Pertanyaan itu menohok hatiku. Benar juga. Apa yang akan
kulakukan kalau dia benar-benar mencoba untuk tidur denganku? Apa aku akan
berteriak minta tolong dan membangunkan seisi hotel? Apa aku akan melaporkan
lelaki ini atas tuduhan percobaan perkosaan? Lelaki yang sudah legal menjadi
suamiku?
“Kita tidak saling
mencintai,” kataku akhirnya.
“I
can do it without love,” timpalnya penuh keyakinan. “Cinta bukan
satu-satunya alasan untuk melakukan itu. Karena kamu dokter, pasti lebih tahu
daripada aku.”
“Nggak. Aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak?”
“Karena tanpa cinta, aku merasa nggak ada
bedanya seperti... PSK?” kataku ragu. “Dan aku pastikan kalau kamu akan
ceraikan aku. Segera.”
Agam menarik mundur wajahnya yang
diselimuti kabut ketidaksetujuan. Dia melempar sisir ke meja dan memasukkan
tangan ke kantong celana. Rahangnya mengeras. “Aku juga nggak berniat memeluk
kerangka hidup sepanjang malam,” dengusnya sebelum mengeluarkan sebuah pass key dengan nomor kamar berbeda.
“Jangan khawatir, aku akan tidur di kamar sebelah. Kamu bisa mengarang cerita
malam pertama kita tanpa gangguan,” katanya lalu melenggang ke luar.
Aku menatap wajah merah padam di dalam
cermin. Secara refleks jemariku meraba tulang selangka yang menyembul di atas
leher gaunku. Marah dan malu bercampur menjadi satu. Aku tak pernah merasa
seterhina ini sebelumnya.
***
Keesokan paginya, aku
sudah siap dalam satu-satunya pakaian yang disiapkan Kak Linda untukku, sebuah
gaun biru lengan pendek setinggi lutut. Garis lehernya yang cukup rendah
membuatku beberapa kali menaikkannya agar belahan dadaku tak kelihatan, yang
sebenarnya tak begitu perlu. Mau tak mau aku kembali teringat akan istilah Agam
tadi malam. Apa? Kerangka hidup? Aku
merunduk dan menghela napas. Memang
benar, sih.
Beberapa saat lamanya aku menatap iba pada
kelenjar mammae yang menonjol
minimalis di depan tulang rusukku itu. Aku membusungkan dada, berusaha
membuatnya terlihat lebih besar. Namun kemudian, aku menyerah pasrah.
Sepertinya hanya silikon yang dapat menyelamatkannya. Atau paling tidak, bra
dengan busa super ekstra.
Aku mengucir rambut lurus sepunggung yang
hitam legam dan menyisir poninya dengan jari. Melihat sepasang heels di rak membuatku mendesah pelan.
Bukannya anti pada sepatu hak tinggi. Hanya saja aku tidak terbiasa dan tidak
nyaman melangkah jika mengenakannya.
Aku berjongkok dan menatap bergantian sepatu
itu dan sandal kamar yang disediakan oleh
pihak hotel, yang anehnya selalu saja kebesar- an untuk ukuran kakiku. Padahal
kakiku tidak mungil-mungil amat. Aku tak punya pilihan lain. Akhirnya aku
memasang sepatu berhak enam sentimeter itu di kakiku dengan perasaan enggan.
Setelah menyambar ponsel dari atas meja, aku keluar dari kamar untuk sarapan.
Di depan pintu kamar sebelah, langkahku
terhenti. Aku membu- nyikan bel, tapi tak ada jawaban. Apa dia belum bangun?
Aku mengetuk pintu beberapa kali. Namun, sepertinya tak ada tanda-tanda
kehidupan di dalam sana. Aku menimbang-nimbang sejenak sebelum memutuskan untuk
menelepon. Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya suara operator
perempuan memberitahuku bahwa nomor yang kutuju tidak menjawab. Mungkin dia
sedang mandi. Aku mencoba menelepon sekali lagi. Namun, masih juga tak
diangkat. “Peduli amat! Kalau lapar nanti juga cari makan sendiri,” gerutuku
sambil melangkah menuju lift.
Restoran di lantai puncak sudah tampak
ramai ketika aku sampai. Aku memilih seporsi omelet sebagai menu sarapan dan
memesan ke koki yang sedang bertugas. Aku lalu mengisi penuh sebuah gelas
tinggi dengan susu. Saat mengedarkan pandangan untuk mencari meja kosong,
mataku bertemu dengan mata Agam yang duduk manis di meja pojok, cukup jauh dari
meja-meja lainnya.
Hah! Rupanya dia sudah ada di sini. Aku
merasa konyol karena sempat mengkhawatirkannya beberapa saat lalu, padahal
ternyata dia tengah menikmati santap paginya seorang diri. Sepotong kaus hitam
berkerah ‘V’ dan celana pendek motif army
membungkus badannya yang lumayan kekar. Rambut cokelat gelapnya yang dipotong
pendek tampak acak-acakan, tapi tidak sampai membuatnya terlihat kumal.
Agam tidak mengacuhkanku dan menyuapkan
potongan roti bakarnya dengan santai. Pelan-pelan aku melangkah menuju mejanya.
Namun, baru beberapa langkah, seorang perempuan sudah lebih dulu sampai di situ.
“Kursinya masih kosong?” Aku bisa
mendengar samar suara pe- rempuan yang tersenyum genit itu.
Langkahku tertahan. Aku menunggu bagaimana
reaksi Agam. Dan aku kesal sekali ketika dia dengan entengnya mengiyakan bahwa
kursi di hadapannya masih kosong. Aku sudah akan berbalik mencari meja yang
lain ketika kudengar dia kembali bicara. “Kursi itu memang masih kosong. Tapi,
lebih baik cari yang lain saja.”
“Eh?” Perempuan itu terlihat keheranan
dengan jawaban Agam.
“Cari meja yang lain saja,” ulang Agam. Ekspresinya
tetap datar.
Aku terperangah. Bagaimana bisa lelaki itu
begitu tak berperasaan?
“Kenapa kamu nggak suruh dia duduk saja di
sini?” tanyaku begitu mendaratkan bokong ke kursi yang diminta oleh perempuan
tadi.
“Karena aku tahu kamu mau duduk di situ,”
jawabnya tenang. Dia menyeruput kopi dari sebuah cangkir putih, yang
meninggalkan bekas basah pada bagian atas bibirnya. “Nice dress, by the way,” komentarnya, lalu mengusap mulut yang
dibingkai dengan sisa-sisa cukuran kumis dan cambang tipis dengan selembar
tisu.
Pujian bernada mengejek itu membuatku
salah tingkah. Sontak saja aku menempelkan telapak tangan di depan dada. “Ini
ulah kakakku, asal tahu saja.”
Dia tampaknya menikmati reaksiku. “Jadi,
bagaimana malam pertamamu?” tanyanya.
Pelayan yang datang mengantarkan omelet
pesananku membuatku tak langsung menjawab pertanyaan itu. Barulah ketika lelaki
bersera- gam putih hitam itu berlalu dari hadapan kami, aku buka suara. “It’s really a good night, asal tahu saja. Untuk sekian lama akhirnya aku bisa
tidur dengan pulas.”
“Benarkah?” Agam menaikkan sebelah
alisnya. Ada nada tak percaya dalam suaranya.
“Hmm. Memangnya kamu pikir aku bakal
menyesal sepanjang malam karena nggak tidur bareng kamu?” Aku memotong omeletku
dengan garpu dan mulai makan.
“You should.”
“Hah!” dengusku.
“Kenapa?”
“Because
if you spent last night together with me, it would be a very good night,” katanya dengan penuh percaya diri.
Aku hampir tersedak mendengarnya.
Buru-buru aku meraih gelas susu dan menenggak separuh isinya. Dia terkekeh,
mungkin geli melihat tingkahku. Dia menyalakan pemantik dan bersiap untuk
membakar rokoknya.
“Merokok bisa membunuhmu.
Belum pernah dengar?” sindirku.
“Semua orang juga akhirnya toh akan mati,”
balasnya santai. Dia lalu mengisap batang tembakau itu dan meniup asapnya ke
arah samping.
“Kebanyakan orang setengah mati berjuang
mengumpulkan rupiah untuk melanjutkan hidup. Sementara kamu menghamburkan uang
demi mati konyol karena rokok,” keluhku seraya menggeleng-geleng.
“Kita nggak bisa
menentukan bagaimana cara kita mati nanti kan? Maksudku, itu kan sudah
suratan takdir.” Agam menyeringai.
“Ya, tapi pilihan hidup
kita bisa membengkokkan takdir.”
“Oh, ya?”
“Misalkan saja kamu ditakdirkan mati saat
umur 40. Karena kamu merokok, kemungkinan untuk terserang berbagai penyakit
akan lebih tinggi. Bisa saja kamu mati lebih cepat. Umur 29, misalnya.”
Wajah Agam menegang lucu begitu aku
menyebutkan usianya. “Yang namanya takdir kematian pasti sudah tertulis kapan
dan bagaimana caranya. Taruhlah aku akan mati karena kanker paru-paru.
Walaupun
aku nggak merokok, penyakit itu pasti akan mencari jalannya sendiri untuk
mengantarku pada kematian.”
Aku terdiam sejenak untuk memikirkan
argumentasiku. “Aku nggak setuju. Kalau benar cara kerja takdir kematian
seperti itu, maka bunuh diri nggak akan jadi dosa. Membunuh nggak akan jadi
dosa.”
Kali ini giliran Agam yang membisu. Namun
kemudian, ekspresi- nya perlahan berubah serius. “Jadi, kenapa kamu bersedia
menikah denganku?”
“Terpaksa,” koreksiku. “Kamu dan aku
sama-sama dipaksa untuk menikah, bukankah begitu?”
Dia menggeleng. “Kamu, aku, sama-sama
punya pilihan untuk menolak. Tapi, lihat apa yang terjadi! Bukankah ini cara
kerja takdir?”
“Kita hanya memilih untuk menjadi anak
berbakti,” protesku tak setuju. “Dan seperti yang sudah aku katakan, kita akan
bercerai secepat mungkin.”
Agam tersenyum sinis. “Biar sejuta kali
kamu ngomong cerai, kalau aku nggak setuju, itu nggak akan pernah terjadi.”
“Aku nggak akan pernah bisa jadi istri
yang baik buat kamu,” kataku dengan suara berbisik.
Sebuah pikiran melintas di benakku. Jika
aku mengatakan kepada- nya bahwa aku mandul mungkin dia akan mempertimbangkan
tawaran cerai dariku. Namun, secuil perasaan takut membuatku menepis pikiran
itu jauh-jauh. Lebih baik mencari jalan lain daripada di kemudian hari hal itu
benar-benar menjadi kenyataan. “Kamu sendiri, kenapa mau menikah sama aku? Kamu
nggak berpikir kalau kita akan hidup bersama selamanya, kan?”
“Bagaimana kalau iya? Aku bisa hidup serumah
tanpa cinta kok. Tenang saja.”
“Tapi aku nggak bisa!”
jeritku tertahan.
“Then
try to love me! Simpel kan?”
Aku terperenyak di kursiku. Seandainya
sesederhana itu mungkin hidupku akan jauh lebih mudah. Cinta bukan hal yang
bisa kau putuskan begitu saja. Dalam realita, cinta menghadirkan banyak
konsekuensi. Dan untuk saat ini, aku masih terlalu sibuk untuk menanggung
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul nantinya. “Perlu kamu tahu, aku nggak
akan melakukan kewajibanku sebagai istri. Aku juga akan meng- awasimu. Kalau
sampai tertangkap basah bersama perempuan lain, aku nggak akan ragu mengajukan
gugatan cerai.”
Agam memandangku dengan tatapan tak
mengerti. “You're insane,” katanya sebelum beranjak pergi
meninggalkanku.
Ya, aku rasa aku memang gila. Memilih pernikahan
ini adalah keputusan tergila yang pernah kubuat.
***
Pertanyaan seputar
bagaimana perasaanku setelah akhirnya resmi menikah terus-menerus dilontarkan
oleh rekan kerjaku. Aku cuma bisa tersenyum dan memberi jawaban pendek-pendek
sambil mencari cara untuk menyingkir. Malang bagiku, UGD yang biasanya ramai
luar biasa tiba-tiba saja sesunyi kamar jenazah malam ini. Seolah mereka semua
berkomplot untuk menahanku agar tak ke mana-mana.
Saking groginya, pulpen di tanganku
mencoret-coret sebuah rumus di atas kertas resep
kosong. Saat sadar, aku terperenyak. Rupanya aku sedang melakukan formula
perhitungan indeks massa tubuh alias IMT. Hasilnya? Tentu saja underweight. Istilah kerangka hidup
pasti tidak datang tanpa alasan. Bukan berarti aku terima disebut seperti itu.
Lagi pula, berat badanku hanya kurang tiga kilogram dari berat badan minimal.
Tunggu! Apa aku tadi menyebutkan ‘kerangka
hidup’? Sampai detik ini, hanya Agam yang blak-blakan menyebutku demikian.
Sial!
“Kapan berangkat bulan madunya, Dok?” goda
seorang perawat senior yang sedang bersiap-siap untuk mengakhiri sif sorenya.
“Akhir pekan ini,”
jawabku singkat.
Kak Linda memang sudah menyiapkan
perjalanan bulan madu ke Bali untukku dan Agam. Dia dengan sukarela memesankan
tiket bolak- balik dan reservasi hotel untuk kami. Dan aku terlalu pengecut
untuk menolak perjalanan itu. Untungnya, dia mau mendengarkan aku untuk
mempersiapkan perjalanan yang singkat saja. Tiga hari dua malam. Setelah proses
tawar-menawar yang cukup melelahkan, akhirnya angka itulah yang kami setujui.
Agam sendiri tak terlalu banyak ikut campur soal itu.
Tadinya, aku berangkat lebih cepat ke
rumah sakit demi menghindari Agam dan keluargaku di rumah. Namun, setelah
sampai aku jadi menyesal. Aku lupa memperkirakan bahwa datang lebih awal akan
membuatku harus menjawab pertanyaan yang serupa berkali-kali. Satu dari tim
jaga sore dan satu lagi dari tim jaga malam.
“Hai, An. Mau ngopi bareng?” Kedatangan
Tami yang bertugas sebagai dokter jaga di ruang ICU, menyelamatkanku dari
rentetan pertanyaan yang tak ada habisnya. Meski jarak ruangan kami cukup untuk
membuat kaki pegal, kami sering saling mengunjungi jika jadwal piket kami
bersamaan. Dan tentu saja jika kami punya waktu senggang. Se- perti saat ini.
“Tentu saja!” seruku agak kelewat senang
saat melihat wajah bun- darnya. Aku bangkit dari kursi dan setengah berlari
menghampirinya. “Thank you,” bisikku
sungguh-sungguh.
Tami mencibir. Dia mengeluarkan tangan
dari saku jas dokternya lalu melingkarkannya di lenganku.
“Jadi, gimana rasanya
jadi pengantin baru?” tanyanya saat kami meniti anak tangga menuju lantai dua.
“Malam pertamanya lancar?”
Aku menoleh dan memberinya tatapan kesal.
“Please, jangan kamu juga.”
Tami terkikik melihat reaksiku. “Iya aku
paham kok, bagaimana perasaanmu. Masih kepingin sayang-sayangan, eh sudah harus
kerja lagi.”
“Tami!”
“Apa?” Tami memberiku ekspresi polos
paling palsu yang pernah kulihat. Dia lalu melenggang masuk lebih dulu ke ruang
istirahat. Aku merebahkan diri ke atas bangku empuk tanpa lengan dan membiarkan
Tami menyeduh kopi untuk kami berdua.
“Kamu yakin rencanamu akan berhasil?”
tanya Tami setelah me- nyodorkan sebuah gelas kertas berisi seduhan kopi instan
kepadaku.
Aku menghela napas panjang. “Kuharap
begitu.” Aku menatap cairan hitam yang mengepulkan asap tipis itu dengan
berbagai pikiran bergelayutan di kepala.
Tami duduk di sebelahku dan menyesap
kopinya pelan-pelan. “Selama kamu yakin, aku pasti akan mendukung kamu.
Tapi...,” katanya dengan nada menggantung. “Aku nggak bisa bilang kalau keputusan
kamu kali ini adalah keputusan yang terbaik.”
“Aku tahu,” ujarku mengakui. “Pilihanku
memang sinting. Tapi aku ingin menunjukkan pada Papa, kalau nggak semua yang
dipilihkannya untukku adalah yang terbaik.”
“Lalu bagaimana dengan suamimu? Kamu nggak
mempertimbangkan bagaimana perasaannya?”
“Dia nggak punya perasaan apa-apa
terhadapku,” jawabku cepat.
“Tapi yang kulihat saat akad sampai
resepsi kemarin, ada sesuatu yang beda dari caranya menatap kamu.”
Aku memajukan bibir bawahku. Benarkah Agam
menatapku dengan berbeda? “Berbeda... gimana maksudnya?” tanyaku penasaran.
“Hmm, gimana ya menjelaskannya? Pokoknya
beda. Begini-begini aku cukup jago dalam menebak siapa suka dengan siapa, lho.”
Aku tergelak mendengarnya. “Kamu nggak
lupa soal residen yang waktu itu, kan?” Mendadak aku teringat kejadian setahun
lalu, saat dengan yakinnya Tami mengatakan pada Nuri, perawat cantik nan polos
itu bahwa si dokter residen naksir kepadanya. Hal itu berujung pada kejadian
katakan cinta yang cukup mengenaskan. Si residen ternyata sudah punya tunangan,
dan si perawat berhari-hari tak masuk kerja akibat tak tahan menanggung malu.
“Itu... kesalahan. Lagian, aku nggak
menyangka kalau Nuri bakal langsung mengkonfrontasi tanpa pikir panjang
begitu,” kata Tami membela diri. “Tapi kali ini, aku yakin pada apa yang aku
lihat.”
“Tapi kali ini, lagi-lagi kamu salah. Dia
beneran nggak suka sama aku, kok.”
“Bagaimana kamu bisa
yakin?”
“Dia yang bilang begitu, kok. Bahkan dia
bilang bisa tinggal serumah dan melakukan ‘itu’ tanpa cinta. Yang ada di
pikirannya pasti cuma hubungan fisik semata.”
“Itu normal lho. Seseorang yang sudah
menikah wajar untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Yang nggak wajar itu kamu.”
“Tepat sekali. Karena itulah, dia pasti
nggak akan tahan hidup bareng aku. Dia nggak punya alasan untuk tetap tinggal.”
Tami menggeleng-geleng pasrah akan
kebulatan tekadku. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
“Mendaftar, tentu saja. Papa sudah janji
akan memberi izin dan membantu biaya kuliah setelah aku menikah. Kalau aku
berhasil lulus seleksi masuknya, tentu saja.”
Ya, itu memang perjanjian kami. Papa
berjanji akan berhenti me- nuntutku untuk melanjutkan pendidikan spesialis
kandungan dan kebidanan jika aku bersedia menikah dengan seseorang yang
dipilihkan olehnya. Dua kali gagal mendapat beasiswa penuh membuatku menyerah
pada tawaran itu. Aku harus menikah supaya bisa mendapatkan sokongan dana untuk
melanjutkan ke pendidikan spesialis bedah jantung. Papa memang memberiku sebuah
kebebasan untuk melakukan hal yang kuinginkan, tapi dia juga menyertainya
dengan sebuah penjara yang lain. Dan sekarang aku harus berjuang untuk
melawannya, dengan caraku sendiri.
“Agam tahu soal
rencanamu lanjut kuliah?” Aku menggeleng.
“Kalau dia tidak
mengizinkan, bagaimana?”
“Itu lebih baik.” Kalau dia tak
mengizinkanku, akan ada alasan jelas untuk bertengkar dan berpisah.
“Aku masih penasaran soal satu hal. Apa
benar kamu nggak punya rasa sama sekali padanya?”
Untuk beberapa saat aku terdiam. Kemudian
aku menggeleng.
“Seandainya. Seandainya nih ya. Papa kamu
menjodohkan kamu dengan laki-laki lain yang..., misalnya saja tua, jelek, bau
ketek, kamu masih bersedia?”
“Kok, pertanyaannya gitu
sih?” tanyaku lirih.
“Aku cuma mau kamu berpikir lagi dan jujur
sama dirimu sendiri. Kamu boleh bilang aku sok tahu atau apalah. Tapi
menurutku, saat kamu memutuskan untuk menerimanya ada sebersit harapan yang
kamu miliki. Harapan kalau mungkin saja kalian bisa bahagia.”
“Konyol.”
“Nggak sama sekali. Kurasa itu cukup
realistis, kok. Bayangkan, kalau kamu memang bisa bahagia dengan pernikahan ini
dan bisa melanjutkan kuliah sesuai keinginan kamu. Bukankah ini double win nama- nya? Kamu nggak pernah
berpikir begitu?”
“Kalau aku bilang iya,
maka aku akan kedengaran egois.”
“Kalau semuanya bisa bahagia dengan itu,
kurasa bukan egois na- manya.”
“Sudah, ah. Nggak usah ngomongin itu,”
pintaku. “Kamu sendiri bagaimana? Kita akan daftar sama-sama, kan?”
Kali ini giliran Tami yang menghela napas
panjang. “Robi kepingin punya anak,” desahnya.
Sebelum jawaban itu meluncur dari mulut
Tami, aku sudah menebaknya jauh-jauh hari. Itulah yang selama ini membuatku
enggan menikah sebelum meraih gelar spesialis. Akan ada terlalu banyak masalah
yang datang menghalang. Namun, situasiku sekarang sudah lain. Kalau
diibaratkan, sebelah kakiku sudah tercebur ke dalam sungai. Aku masih bisa
menariknya keluar sebelum banyak masalah muncul dan membelitku lebih dalam.
“Jadi, kamu akan menyerah demi hamil?”
“Bukan menyerah, tapi
menunda.”
“Saat ini kamu bisa bilang demikian. Tapi
setelah melahirkan nanti, seribu alasan lain akan muncul.
Dan ketika kamu
memutuskan untuk memulai kembali, kamu baru sadar kalau kamu sudah terlalu tua
buat kuliah lagi,” kataku dengan menggebu-gebu. “Mumpung kita masih muda, Tam.
Gunakan otak kita seoptimal mungkin.”
Tami cemberut. “Umurku sudah hampir tiga
puluh,” katanya meng- ingatkanku. Meski satu kelas, dia memang tiga tahun lebih
tua. Kesa- lahpahaman kecil saat masa awal perkuliahan dulu membuatku telanjur
nyaman memanggilnya tanpa embel-embel ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Dia sendiri lebih suka
seperti itu. Dia bilang, dia jadi merasa lebih muda saat aku memanggilnya
dengan nama saja.
“Andai aku lanjut dan lulus tepat waktu,
bayangkan aku akan hamil di umur berapa. Setidaknya umur tiga lima.”
“Umur tiga lima kan masih
usia reproduksi sehat,” kilahku.
“Memang. Tapi nanti saat anakku masih
balita, aku sudah menjelang kepala empat. Sudah mulai sering sakit punggung dan
lain sebagainya. Aku nggak akan bisa main sama anakku,” kata Tami.
Aku masih punya berbagai opini mengenai
kekhawatiran Tami itu. Namun, melihat wajah sedihnya, aku memutuskan untuk tak
memperpanjang perdebatan. Beberapa menit kemudian, deringan di saku jas
membuatnya kembali sadar. “Aku harus kembali ke ruangan,” katanya
memperlihatkan layar ponselnya kepadaku sebelum menerima panggil- an masuk itu.
Selepas panggilan singkat itu, Tami
menghabiskan kopinya. “Aku lebih rela jadi dokter umum seumur hidup daripada
harus kehilangan waktu bersama anak-anakku kelak,” lanjutnya penuh kemantapan.
Aku tak pernah mendengarnya lebih yakin dari saat ini.
Tami meremas gelas kertas bekas kopi dan
melemparnya ke tong sampah. Dengan kedua tangan, dia lalu menggenggam tanganku
yang bebas. “Kamu lebih muda daripada aku. Jadi, jangan pikirkan ocehanku
barusan, ya!”
Aku tersenyum kecil. Yah, biarlah kami
berperang dengan kekhawatiran kami masing-masing.
***
Seru kan?! Kalau saya sih pengen buru-buru baca semua novelnya sampai tuntas. biar gak nanggung kayak gini. Gimana ya nasib Bang Agam sama dokter Lian selanjutnya! yuk ah jangan lupa ikutan pre-ordernya ya.
Exclusive first Chapter ada juga loh di blog teman-teman kece yang lain.
Akan
diadakan selama 8 hari dengan jadwal
sebagai berikut
26 SEPTEMBER 2018: Thessalivia
Reza
27 SEPTEMBER 2018: Ika Mayang Sari
URL Blog :
http://dumziebooks.blogspot.com/
28 SEPTEMBER 2018: Fabiola
Izdihar
URL Blog: readingvibes.blogspot.com
29 SEPTEMBER 2018: Pida Alandrian
URL Blog
: https://collection-of-book.blogspot.com/
30 SEPTEMBER 2018: Sintiya lastari Deva R
Url Blog:
https://aoiperiwinkle.wordpress.com/
1 OKTOBER 2018: Ratna Komalasari
URL Blog: www.blueshood.wordpress.com
2 OKTOBER 2018: Ilmi Fadillah
Url Blog: http://ilmifadillah.blogspot.com [KAMU LAGI DI SINI]
3 OKTOBER 2018: Ahmad Azwar Avisin
Url
Blog: https://blognyaazwar.blogspot.com/