Senin, 19 Juni 2023

[Cerpen] Barak Pengungsian oleh Imi Fadhil



Gambar: Canva Apk.
Barak Pengungsian
Hujan tak henti-hentinya mengguyur Bandung sepanjang malam. Sebenarnya ada jeda walau tak lama. Hujan lebat. Reda. Hujan lagi. Reda. Sampai Subuh menjelang, langit gerimis. Padahal Imlek sudah lewat. Ya, mungkin musim penghujan benar-benar sudah datang. 
Manusia tak pandai bersyukur. Selalu mengeluh dan berpikiran negatif. Tuhan beri panas, "Yah, panas!" keluhnya. Tuhan kasih hujan, "Yah, hujan!” 
Anisa yang di kamar indekos sendirian, sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. 
Tingtong! Suara notifikasi ponsel berbunyi. Anisa tak terlalu menghiraukannya. Sebuah berita masuk seperti biasa. Berita yang kadang tidak dijamin kevalidannya. Namun, kali ini Anisa penasaran. Gadis itu pun melirik gambarnya. 
Sebuah sekolah yang sangat Anisa kenal terendam banjir parah. Deg. Anisa terperanjat, ingat emaknya di kampung halaman. Perempuan renta yang sangat ia sayang. Terlebih setelah ibunya memutuskan untuk pergi menjadi TKW ke Dubai. Sebagai pengalihan karena depresi ditinggal bapaknya yang kabur dengan perempuan lain.
Kabar terakhir, Anisa melihat status ibunya di medsos. Beliau memamerkan rial yang didapat dari hasil kerjanya. Anisa tak peduli seberapa besar cuan itu. Rasa kesal lebih besar pada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia. Jika tak ada emak yang merawatnya, entahlah, Anisa akan jadi manusia seperti apa. 
Sepuluh tahun lalu. Hari yang tak mungkin Anisa lupakan.
"Mamah teh jangan pergi! Anisa di sini sama siapa?!" 
Bocah sembilan tahun menarik-narik baju ibunya sambil menangis sejadi-jadinya. Perempuan itu hanya menjawab Anisa kecil dengan satu kata, "Maaf!" 
Tangan mungil itu pun bersikeras ia lepaskan dari rok beludrunya. Raut mukanya jelas mengguratkan banyak makna. Sedih. Rasa bersalah. Ada pula marah pada keadaan. Namun, itulah pilihan ibu Anisa. Konsekuensi yang berat harus ia terima. Kehilangan anak gadisnya, terutama hormat dan sayangnya di kemudian hari. 
Anisa sangat terpuruk. Jatuh berderai-derai. Anisa tak lagi percaya pada cinta kasih. Kasih ibu yang katanya sepanjang hayat, baginya, hanya lirik lagu belaka. Syukurlah, Anisa segera bangun dari keterpurukan. Bagaimanapun juga hidup harus terus berjalan sebagaimana mestinya. Anisa harus bertahan. Melanjutkan kerasnya terpaan dunia. 
Anisa tumbuh dan berkembang lebih dewasa dari sebayanya. Anisa cukup pintar di bangku sekolah hingga diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Dengan berat hati, Anisa keluar dari bilik neneknya. Hidup perih di sepetak kamar tak jauh dari kampusnya. 
"Hoream ah emak mah diajar nu kararitu. Hese. Emak mah geus kolot. Gaptek" 
Emak bilang malas kalau harus belajar yang begituan (hape). Emak sudah tua. Gaptek. 
"Gak papa atuh, Mak. Kalau nanti di kota, Anisa kangen kan tinggal telepon saja." rayu Anisa.
"Mun sono, nya ka dieu weh!" Emak tertawa memperlihatkan giginya yang tinggal empat. Katanya, kalau kangen, ke sini saja. 
Anisa gereget dan memeluk erat emaknya, "Ah, emak. Bisa aja" 
**
Anisa mencoba melakukan panggilan Whatsapp. Wajah emak tetap cantik walau sudah renta. Dibalut jilbab bunga-bunga warna cokelat. Tampak bahagia dipeluk cucu sematawayangnya dalam layar ponsel Anisa. 
Sepertinya WA emak tidak aktif sudah sejak dua hari yang lalu. Mungkin, habis kuota, pikir Anisa. Anisa pun mencoba melakukan panggilan biasa. 
"Nomor telepon tidak aktif, tolong coba beberapa saat lagi!" 
Hanya suara operator yang menjawab panggilan Anisa. Hati Anisa makin tidak tentram.
**
Di dalam sebuah kantor salah satu media online ternama di Indonesia dua orang lelaki mematung saling melempar pandangan yang bingung. Bingung memulai percakapan. 
Lelaki pertama sudah paruh baya, menggunakan pakaian kantoran, berkameja lengkap dengan dasi dan jas hitam agak berantakan. Lelaki kedua, muda dan lebih supel. Kemeja panjangnya dilipat sampai siku, bercelana jeans dengan kartu tanda pengenal mengalung di lehernya bertuliskan berikut. 
Nama : Muhammad Dzaki
Jabatan : Wartawan
Sang Bos pun membuka suara tanpa basa-basi. 
"Perusahaan sedang mengalami krisis sejak pandemi ini. Dengan berat hati kami harus memberhentikan kamu, kecuali...."
"Kecuali apa, Bos?" sambung Dzaki memberanikan diri menanyakan kalimat yang terputus tadi.
"Kecuali kamu membuat berita yang unik sampai media kita naik lagi ke puncak," jelas Si Bos.
**
Anisa tak pikir panjang lagi. Menjelang Subuh ia segera tancap gas mengendarai motor matik pinjam punya temannya yang satu kosan. Hanya dalam satu jam, Anisa bisa tiba di kampung halamannya. Namun, di jalan Anisa terperangkap di tengah hujan dan banjir cukup tinggi. Anisa pun menepi di sebuah rumah teman lama. Dengan senang hati, Cucu mempersilakan Anisa berteduh di rumahnya. Setidaknya sampai hujan reda, banjir agak surut.
Anisa disediakan kamar sendiri, walau tidak besar, tapi rapi dan nyaman. Namun, mata Anisa sama sekali tak bisa rehat. Emak. Emak. Hanya Emak yang ada di pikirannya. 
Tok! Tok! Tok! 
"Masuk aja!" lantang Anisa.
Cucu tergesa-gesa menghampiri Anisa. 
"Kamu sudah lihat video yang lagi trending?"
Anisa hanya menggeleng tak paham.
"Nih, kamu lihat saja sendiri!" Cucu menyodorkan ponselnya.
"Emak? Ini beneran emak?" tanyanya sendiri.
"Iya siapa lagi?" sela Cucu.
Sebuah video berdurasi 11 menit. Seorang pemuda menggendong nenek di tengah banjir setinggi dada dewasa ke barak pengungsian. Nenek itu tak lain adalah Emak. 
"Kamu malaikat berwujud manusia," komentar salah satu warganet.
"Aku sedang cari suami baik kayak kamu, Kang," timpal yang lain.
Begitu ramai komentar positif warganet. 
Banyak tanya di benaknya. Siapa pemuda itu? Kenapa mau menolong emak? yang jelas, Anisa wajib berterima kasih pada pemuda viral itu.
Hari mulai cerah. Air genangan sudah surut. Anisa langsung berkemas menuju barak pengungsian. Saat dihidupkan, motor tak mau jalan. Anisa baru ingat kalau motornya menerobos banjir. 
"Saya mau berangkat kerja, kamu ikut aja. Saya lewat barak pengungsian itu kok," ajak Yena—Kakak Cucu.
Anisa pun mengangguk lega. 
Sesampai di barak, Yena menyilakan Anisa untuk turun dan mencari emak. Tak butuh waktu lama, Emak sudah berbaur dengan korban banjir yang lain. Anisa setengah berlari, mendatangi emak, memeluk emak dengan hangat. Bahagia tak terkira. Syukur tak terukur. Anisa bisa melihat wajah keriput emak lagi. Anisa bahagia melihat emak sehat. Tak kurang sesuatu apapun.
"Emak butuh apa? Anisa menawarkan bantuan.
"Emak lapar," lirih emak.
"Tunggu sebentar," kata Anisa.
Anisa pun keluar mencari dapur umum untuk mencari pengganjal perut emak.
Tak disangka, Anisa melihat pemuda viral tengah bercakap-cakap. Anisa mencoba mendekati mereka.
"Makasih loh, Dzak! Kamu sudah mengangkat perusahaan. Kamu tak jadi diberhentikan. Malah kamu akan naik jabatan. Kamu mau bonus apa? Sebutkan saja! Ha!Ha!Ha!" Si Bos tertawa jumawa.
Anisa hanya bisa melongo menyimak percakapan dua lelaki tersebut.
***
TAMAT
***

*)Cerpen ini termasuk dari kumpulan cerpen dari What's Wrong With Anisa dari ajang lomba cerpen tokoh Anisa.

**) Penulis empunya nama asli Ilmi Fadillah. Suri rumah bahagia yang sudah dikaruniai tiga putri yang cantik salehah, insyaallah. Pemilik akun Instagram @imifadhil ini senang sekali menulis walau belum mahir dan masih terus harus belajar. Motonya, “Menulislah! karena manusia mudah lupa dan dilupakan” 


[Cerpen] Lelaki di Balik Raungan Mesin oleh Imi Fadhil



Gambar: Canva Apk.

Bapak menangis tersungkur di lutut Emak. Tak biasanya Bapak seperti itu. Sementara Ibu, berada di samping Bapak. Memaku di lantai. Muram. Menelan suara. Entah kabar buruk apa yang hendak disampaikan Bapak siang itu. Aku mengintipnya di balik jendela kamar. Aku mencoba menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Bapak. 

“Semuanya habis, Mak.” Bapak membuka suara.

“Apa yang habis, Jang? Coba tenang dulu!” tanya Emak heran.

Bapak masih terengah-engah mencoba meredam emosinya. Meredakan tangisnya. 

“Sebentar, ya Jang!” seru Emak ke Bapak.

Bapak mengangguk. 

Tak lama, Emak muncul dari dapur. Emak menyodorkan segelas air putih untuk Bapak. 

“Minumlah!” pinta Emak.

“Hatur nuhun!” Bapak berterima kasih.

Bapak meneguk airnya perlahan. Sampai habis, tak tersisa setetes pun. Tampak sekali Bapak haus. Maklum perjalanan dari Cikutra ke Pagarsih cukup memakan waktu. Bapak meletakkan gelas di samping tempat duduknya. Bapak menghela napas panjang. 

“Ruko saya di Cikutra kemalingan, Mak.” Bapak menjelaskan.

“Innalillahi..” prihatin Emak.

“Tiga mesin jahit dan tiga mesin obras habis dicuri. Tinggal satu mesin jahit tua saja yang tertinggal,” terang Bapak menambahkan.

Aku masih diam di balik jendela. Aku hanya bocah SD. Tak sungguh-sungguh mengerti apa yang telah terjadi. Namun, bisa kutebak dari raut wajah Bapak, Ibu, dan Emak mereka sungguh sedih. 

***

Dua tahun yang Lalu. 

Bapak mendapat warisan sehampar sawah. Bapak menjualnya untuk modal membuka usaha jasa tailor di daerah Cikutra. Aku masih ingat namanya “Mukhlis Tailor” diambil dari nama panjang kakakku, si sulung. Keahlian Bapak memang di bidang itu. Sedari kecil Bapak sudah harus merantau dari Cilacap ke Kota Bandung. Bapak ikut paman bekerja. Dulu daerah Dago sudah cukup ramai walaupun tidak seramai sekarang. Terkenal daerah kampus dari dulu. Bapak membantu Paman menjahit pakaian. Maka dari itu, keahlian Bapak tidak bisa diragukan lagi. 

Namun, nasib baik belum berpihak pada Bapak dan keluarga kami. Bapak pernah punya beberapa karyawan. Bapak mendidik dan mengajarkan ilmu menjahit kepada mereka dari nol. Salah seorang karyawan malah curang. Setelah mereka bisa malah kabur. Bapak memang terlalu baik. 

“Yuk, Nak kita ke Bapak!” ajak Ibu suatu hari.

Aku mengangguk senang. Aku senang karena aku akan jalan-jalan bersama Ibu dan adikku yang masih bayi. Aku juga tak sabar bertemu Bapak. Sudah lama Bapak tak pulang. Makanya Ibu menyusul Bapak. 

Ibu menggendong adik dan menuntunku menuju Jamika. Di sana kami akan naik angkot berwarna oranye. Ibu pun melambaikan tangan kanannya setelah melihat ada angkot yang dituju. Angkot pun berhenti. Kami cepat-cepat menaikinya. Aku senang melewati jalanan yang masih lenggang. Banyak pohon rindang di kanan-kiri jalan. Sejuk rasanya. Aku suka Bandung tempo dulu. 

“Yuna, bangun!” Ibu menggoyang-goyangkan badanku. 

“Iya, Bu…” sahutku lemah.

“Sebentar lagi sampai,” ungkap ibu.

Aku mencoba memaksa membuka lebar mataku yang sipit. Benar saja kami sudah sampai di tempat tujuan.

“Kiri, Mang!” seru Ibu.

Sopir angkot pun memberhentikan kendaraannya. Tepat di kiri bahu jalan. Ibuku merogoh uang recehan. Ibu memberikannya ke sopir lewat jendela depan. 

Di sebrang sana sudah terlihat ruko Bapak. Bangunan kecil di antara toko dan rumah mewah. Tampak tulisan besar di kaca bangunan itu. “M-U-K-H-L-I-S T-A-I-L-O-R” aku mengejanya.

Tanganku digenggam erat oleh ibu. Ibu melirik ke kanan dan kiri jalan raya. Setelah memastikan jalanan tak ada kendaraan lewat. Kami menyebrang. 

“Assalamu’alaikum!” ucap Ibu.

Bapak tampak sedang bekerja di balik raungan mesinnya. Raungan mesin menenggelamkan suara Ibu. Suara Ibu yang parau tak bisa menandingi deru mesin jahit Bapak.

Ibu mengulangi salamnya, “Assalamu’alaikum!” Kali ini lebih keras.

“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh!” Bapak agak terkejut.

Bapak berdiri. Aku bergegas menuju pangkuannya. Lalu memeluknya erat. Lalu Bapak menggendongku.

“Yuna, putri Bapak!” 

Kumisnya yang tipis menggelitik pipiku. 

Ibu mengecup tangan Bapak. Bapak menurunkanku dari pangkuannya. Lalu meraih adikku. Bapak menimangnya. Ibu juga menyapa karyawan Bapak dan bersalaman tanpa bersentuhan.

Ibu dan Bapak berbincang serius. Aku tak mau tahu apa yang mereka perbincangkan. Aku mengajak bermain adik yang dibaringkan di bawah. Namun, aku cepat bosan. Aku pun mengganggu Bapak.

“Bapak, mau jajan,” rengekku menarik-narik baju Bapak.

Bapak tak pernah menolak keinginanku. Apalagi hanya sekadar mau jajan. Bapak menggendongku. Aku memang sudah empat tahun, tapi Bapak masih menggendongku. 

“Mau apa?” tanya Bapak setelah sampai di toko sebelah rukonya.

Aku meraih permen nano-nano. Entahlah aku pikir itu adalah permen terenak di dunia. Kalaupun masih ada permen itu hari ini. Tak seenak dulu. Aku masih ingat slogan iklannya. “Manis, asam, asin, ramai rasanya!”

Kami kembali ke ruko Bapak. Aku dan Ibu merebahkan badan di samping adik. Di sebuah kamar sempit. Bapak melanjutkan pekerjaannya. Mengayuh mesin jahitnya. Derunya membuat kami gagal memejamkan mata. Namun, tidak dengan adik. Dia sangat menikmati suara berisik itu. Pulas sekali. Mungkin dianggapnya lagu nina bobo. 

“Teng! Teng! Teng! Teng! Teng!”

Suara tiang listrik yang dipukul bersahutan dari kejauhan. Kaki Bapak serentak berhenti. Begitu pula karyawan Bapak. Bapak segera keluar ruko melihat apa yang terjadi. 

“Ibu!” aku mendekap Ibu ketakutan.

 “Ayo, kita keluar!” ajak Bapak panik.

Ibu menggendong adik dan setengah menyeretku keluar kamar. Bapak langsung meraih lalu menggendongku. Ku lihat Bapak sempat mematikan aliran listrik dari sikringnya. Lalu meneyebrangkan Ibu sambil menggendongku. 

Ada percikan api di kabel listrik yang melintang di pinggir jalanan. Sekitar lima meter dari ruko Bapak. Kami diam di seberang jalan cukup lama. Bukan hanya kami saja. Orang-orang yang ada di sekitarnya pun berhamburan keluar. Bergerumul di tempat yang aman. Sepertinya petugas PLN segera memutus aliran listrik di daerah itu. Mungkin ada yang melapor. 

“Sudah aman,” terang Bapak. 

“Alhamdulillah!” Ibu mengusap-usap dadanya.  

Kami pun bubar dari kumpulan orang-orang. Kami kembali ke ruko Bapak. Listrik masih mati. Petugas PLN nampak sigap memperbaiki kabel listrik yang menagalami konsleting.

Hari makin sore. Di ruko Bapak gelap karena tak ada cahaya masuk.

“Kalian pulang sekarang, Ya!” lirih Bapak.

“Iya, Pak.” Ibu mengangguk.

“Nanti Bapak menyusul besok,” janji Bapak. 

Bapak mengepalkan segenggam uang pada tangan Ibu. Kami berpamitan pulang.

***

Setelah peristiwa kemalingan itu, Bapak menjual ruko. Bapak bekerja serabutan. Bapak ikut bekerja dengan Mang Sopyan—seorang supplier jaket dan topi. Jaket dan topinya dipasarkan di koperasi-koperasi pemerintahan di dalam dan luar pulau Jawa. Bapak yang menagih uang ke luar kota. Kalau berhasil membawa uang, Bapak kebagian. Kalau tidak, ya bablas. Nihil. Bapak pernah kehabisan ongkos di Kota Solo. Sampai-sampai minta bantuan polisi untuk bisa pulang ke rumah. 

Bapak pun alih profesi dengan berjualan celana perca yang dibuatnya sendiri. Tak juga berhasil. Bapak pernah juga menjajakan barang dagangan punya tetangga. Bapak menjualnya di pasar Astana Anyar setiap pagi. Aku pernah ikut bersama Bapak. Naik ke gerobak dagangan. Ikut menjajakan mug-mug di kaki lima. Hasil penjualan setiap harinya sangat minim. Tak jarang Bapak pulang tanpa ada satu pun dagangan yang terjual. Apa pun pernah dilakoni Bapak demi bertahan hidup. Menafkahi kami sekeluarga. 

Bapak pernah jadi pedagang asongan: jualan kopi dan rokok; berdagang tahu Cibuntu; menjual sayuran; menjual pakaian jadi; dan lain-lain. Aku pun lupa saking banyaknya yang Bapak coba. Semuanya belum berbuah hasil. Hidup terasa susah. Ini ujian bagi keluarga kami. Namun, kami bersyukur. Kami masih bisa makan. Kami masih bisa beribadah. Itu nikmat yang luar biasa. 

“Bu, Bapak mau menjahit lagi.”

Ibu hanya diam. Tak merespon perkataan Bapak. Ibu juga tak menghentikan kegiatannya melipat pakaian yang sudah kering dijemur. 

“Bapak bisa menjahit di pinggir jalan. Menerima permak atau memotong kain,” tambah Bapak panjang lebar.

Ibu sejenak terdiam memandang langsung kedua bola mata Bapak. 

“Ibu minta cerai,” tegas Ibu.

***

T A M A T

***

Catatan: 

Cerpen ini merupakan salah satu cerita dalam antologi Selaksa Rasa tentang Lelaki dari AE Publishing.

[Cerpen] Keinara oleh Imi Fadhil


Gambar: canva apk

Ruangan sidang hening. Kau duduk bersebelahan dengan Keinara, perempuan yang pernah kau cintai. Keinara yang pernah kau lingkarkan cincin di jari manisnya. Kalian berdua sama-sama menunggu sang hakim mengetuk palunya. Keinara yang menusuk hatimu, dengan perselingkuhanya dengan sahabatmu sediri. Apakah hubungan kalian layak dilanjutkan atau keinginanmu untuk berpisah dengan Keinara dikabulkan. 

Kau tampak tegar hari ini, tak seperti hari-hari sebelumnya. Kau sudah bulat melepas Keinaramu. Sebaliknya, perempuan di sebelahmu sangat kusut. Tak kuasa sedikit pun mengangkat wajahnya. Tampak penyesalan yang dalam, tapi sudah terlambat. Ya, Selamat! Keinginanmu ternyata terkabul.

“Maaf, ya Mas!” sesal Keinara sambil menjabat tanganmu.

Kau meraih tangannya sambil mengangguk pelan dan sedikit menyunggingkan senyum pahit. Biarkan seisi dunia memandang kau raja tega. Namun, kau sudah mengambil keputusan yang sangat tepat. Perpisahan bisa membuat dua insan memperbaiki dirinya masing-masing. Itulah tanda cintamu pada Kinara. 

Cinta memang terkadang harus melepas untuk meraih kebahagiaan sebenarnya. Semoga Keinara meraih kebahagiaannya. Kau pun bisa melanjutkan hidupmu. Toh, dengan ataupun tanpanya. Matahari tetap menyongsongmu dari ufuk timur. Langit masih senantiasa siap menghiasi harimu. Pun bumi, masih setia untuk kaupijaki. Kau pun akan menemukan kebahagiaanmu di kemudian hari. Harap akan selalu ada. 

***

6 bulan yang lalu.

Kau berbincang hangat dengan Keinara. Saat itu di meja makan, kalian sarapan sandwich isi salad, keju, dan telur setengah matang kesukaanmu. Istrimu memang jago meracik bumbu. Masakan sederhana menjadi selalu istimewa kala Keinara yang meramunya. Kau pun menutup sarapanmu dengan orange juice. 

“Aku berangkat, ya!” katamu.

“Eh, Mas!” sela Kirana.

“Iya?!” sahutmu lembut.

“Aku mau ngobrol serius, Mas!” pinta Keinara.

“OK, boleh. Pulang kantor ya?!” responmu cepat.

“OK!” jawabnya riang. 

Keinara pun menyodorkan tas kerjamu. Merapikan dasimu. Mengecup punggung tanganmu. Kau balas kecupannya dengan kecupan lembut di keningnya. Kau bahagia dan Keinara bahagia. 

***

Sepulangmu dari tempat kerjamu. Keinara menyambutmu, meraih tas dan jasmu. Dia tak lupa menagih janjimu. 

“Mas mau makan atau mandi dulu?” tawarnya.

“Aku sudah makan. Mandinya nanti saja,” jawabmu. 

“Katanya kamu mau ngorbrol serius? Silakan sampaikan sekarang!” tanyamu penasaran.

“Aku bosan, Mas. Diam di rumah terus,” tukasnya.

Kau terdiam sejenak mendengar pernyataan Keinara. Setelah dua bulan menikah, Keinara memang hanya diam di rumah. Kebetulan kau dan Keinara belum dipercaya punya momongan. 

“Terus mau kamu apa?” selidikmu.

“Aku mau kerja lagi. Agar hilang penatku, Mas.” Keinara merajuk.

“Aku mandi dulu deh,” alihmu dan berlalu ke kamar mandi. 

Keinara tampak kecewa. Wajah sumringahnya berubah kecut. Keinara adalah perempuan yang diidamkan semua lelaki, termasuk kau. Perempuan berperawakan model, cantik dan intelek. Tak ayal, kalau kau terlalu mengagumi dan mencintai Keinaramu. Kau memang beruntung berhasil meminang Keinara. 

Kau buka pintu kamar mandi. Kau mengguyur peluhmu. Kau tampak berat memikirkan perkataan Keinara. Maumu Keinara jadi ibu rumah tangga saja. Dia duduk manis di rumah menunggumu pulang kerja. Namun, kau pikir memang tak adil bagi Keinara. Di sebuah kompleks perumahan yang sangat individual, Keinara seolah mati gaya. Apalagi kehadiran sang buang hati belum kunjung tiba di tengah kalian. 

Kau pun menyelesaikan ritualmu di kamar mandi. Kau beranjak ke kamarmu dan Keinara. Kaulihat Keinara sudah terbaring dan memejam. Kau tahu, Keinara belum benar-benar tidur. Kaukecup lembut bibirnya. Keinara pun membuka kelopak matanya. 

“Kamu boleh kerja lagi,” ungkapmu meruntuhkan ego di lubuk hati.

Keinara senang bukan kepalang. Malammu dipenuhi bintang. Semesta turut merayakan kebahagian Keinara. Pun dengan kau, tak ada alasan kau tak bahagia karena bahagia Keinara adalah bahagiamu jua. 

***

Tak perlu waktu lama untuk istrimu mendapatkan pekerjaan barunya. Kecerdasannya yang di atas rata-rata membuat Keinara ditempatkan di posisi manajer di sebuah perusahaan advertisement ternama di Kota Bandung. Posisinya tak jauh dari kantormu berdiri. Oleh karena itu, kau sering menengok Keinara.

Kau menyambangi Keinara saat jam istirahat kantor. Kau janjian bertemu dengannya di lobi. Kau duduk di sofa dekat resepsionis. 

“Andra?!” sapa seseorang dari kejauhan.

“Hei!” kau pun membalas sapanya.

Dia adalah Dewa, temanmu saat SMA. Bahkan, mereka sangat dekat. 

“Dewa?! Kok, kamu di sini?” tanyamu heran. Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab. Hanya basa-basi semata. Tentu saja kau tahu, kalau Dewa ada di gedung itu, dia pasti bekerja di sana.

Kalian bernostalgia sejenak. Mengingat masa-masa yang indah saat berseragam putih-abu. Keinara pun muncul.

“Kalian sudah saling kenal?” tanyanya.

“Iya!” jawabmu dan Dewa bersamaan. 

“Kenalkan, ini pendamping hidupku. Kau pasti sudah kenal juga dengan Keinara.” Kau memperkenalkan Keinara sebagai istrimu pada Dewa.

“Kau hebat, kawan! Bisa mendapatkan perempuan cantik dan intelek macam Keinara,” ledek Dewa.

“Ha.. ha.. ha.. makanya cepatlah kau cari istri!” Kau balik meledek Dewa.

Dewa hanya tertawa renyah menanggapi ledekan sahabatnya.

“Kami makan siang dulu, Wa! Kau pamit. Dibuntuti istrimu yang menyungging sedikit senyum untuk Dewa.

***

Suatu hari, kebetulan Keinara tak masuk kantor. Istrimu sedikit demam dan seharian hanya rehat di kamar. Keinara tak mau dibawa ke dokter. Malam harinya, sepulang lembur, kau pun masuk kamar. Keinara sedang di kamar kecil. Kau buka gadgetnya. Ada obrolan Istrimu dengan Dewa sedari siang tadi. Obrolannya lumayan panjang. Kau baca dalam hati.

Dewa:

Kei, kamu gak masuk kerja?

Keinara:

Iya nih, aku sedikit demam.

Dewa:

Andra gak bawa kamu ke dokter?

Keinara:

Aku cuma kecapean aja. Istirahat sebentar juga sehat lagi.

Dewa:

Oh, ya udah. Banyak yang nanya nih, kenapa kamu gak masuk kantor.

Keinara:

Bilangin aja aku gak apa-apa.

Dewa:

Banyak yang khawatir sama kamu, berarti kamu banyak yang sayang.

Keinara:

Haha ... iya syukurlah. 

Dewa:

Aku juga khawatir, berarti aku sayang juga sama kamu.

Keinara:

Makasih udah sayang sama aku.

Dewa:

Emang boleh aku sayang sama kamu, Kei?

Keinara: 

Ya boleh, silakan. Kan sebagai teman, kita harus saling menyayangi. 

Dewa:

Kalau aku sayangnya lebih dari sekadar teman gimana? Boleh?

Keinara:

Hahaha! Gak boleh, aku kan punya Mas Andra.

Tetiba Keinara muncul di hadapanmu. Kau pun segera menekan tombol kembali secepat kilat. Lalu menyimpannya kembali di tempat semula. 

“Eh, Mas sudah pulang?!” Keinara menyambar dengan retorisnya.

“Iya!” jawabmu singkat. 

Kau pun membersihkan badanmu dan segera naik ke ranjangmu. Lalu kau tidur membelakangi istrimu. Keinara mengira kau capek kerja dan butuh istirahat lebih awal. Istrimu pun menengok gadgetnya dan menghapus semua obrolannya dengan Dewa. Tak lama Keinara terlelap di atas bantal empuknya. 

Sementara di otakmu masih berkeliaran pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan Dewa dan istrimu. Dari obrolannya, tampak sekali kalau Dewa menyukai istrimu. Namun, kau luruskan keraguanmu pada istrimu. Pikirmu, Keinara dengan segala kelebihannya pasti banyak lelaki yang menyukainya. Kau pun berbaik sangka, Keinara tak akan tega melayani Dewa atau lelaki lain. kau berpikir mungkin Keinara hanya menjaga hubungan baik dengan Dewa yang notabene sahabatku. Sekaligus rekan kerjanya. Setelah clear kau pun tidur menyusul Keinara dengan posisi masih memunggunginya. 

***

Keinara semakin sibuk dengan pekerjaan kantornya. Sampai-sampai harus bermalam berhari-hari di luar kota. Kau sangat mendukung penuh karir istrimu. Kau pun sangat percaya akan kesetiaannya. Pagi itu Keinara pamit akan berangkat ke Puncak-Bogor untuk pekerjaannya selama dua hari. Entah kenapa tampaknya kau agak berat. Tak seperti biasanya. 

“Dewa berangkat juga?” tanyamu sinis.

“Enggak, emang kenapa?” Keinara merasa ada yang aneh.

“Oh, gak apa-apa,” jawabmu.

Kau pun merasa sedikit tenang melepas Keinara. Kau pun berencana untuk mengecek kebenaran ketiadakikutsertaan Dewa. Saat jam makan siang kau menuju gedung perkantoran istrimu. Kau puas saat melihat Dewa ada. Kau cepat-cepat bergegas jauh meninggalkan gedung itu. Sebelum Dewa tahu dan melihatmu. 

Malam itu kau sendirian lagi. Kau membuka album pernikahanmu dengan Keinara. Kau buka lembaran demi lembaran dengan suka cita. Kalian memang pasangan muda yang paling bahagia di momen itu. Kau tersenyum-senyum sendiri. Smartphone-mu berdering. Kau raih dengan tangan kananmu. Ada suara dari kejauhan.

“Hallo!”

“Iya, Hallo!” jawabmu.

“Istrimu ada di rumah kan?” tanyanya.

“Iy.. iy.. ya! Dia ada di kamar.” Jawabmu gelagapan. Kau mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Syukurlah! Mungkin yang barusan kulihat bersama sesorang lelaki hanya mirip saja,” tukasnya.

Dia pun menutup panggilannya. Dia adalah teman lamamu. Kau sekarang bingung. Pikiranmu kacau. Otakmu kusut tak karuan. Kau lihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 11.55. Tak mungkin kau pergi ke puncak malam-malam begitu. Kau pun memutuskan untuk pergi setelah Subuh. Malam itu kau tidak benar-benar tidur. Kau rasakan malam benar-benar lama. 

Setelah menunaikan dua rakaat wajib, kau pun menyalakan mobilmu menuju Puncak. Butuh dua jam saja untuk sampai ke sana. Jalanan memang masih lenggang. Perasaanmu tak karuan. Kau masih berharap pransangkamu salah semua. Kau langsung menuju resepsionis hotel, tempat Keinara bermalam. Posisimu sebagai suami Keinara membuat resepsionis tak berpikir panjang untuk memberi tahu nomor kamarnya. Setelah memegang nomor hotel di kepalamu, kau langsung mencari kamarnya. 

Kau beruntung bisa langsung menemukannya. Kau memilih tak langsung masuk. Kau lihat jam di tanganmu menunjukkan pukul 07.00. Tak lama pintu kamar pun terbuka. Ya, dia Dewa—temanmu. Kau setengah berlari menghampiri Dewa. Kau menyambutnya dengan tinjumu. Tanpa berkata apa-apa. Kau pun masuk kamar. 

“Kenapa masuk lagi, Mas?” suara Keinara di dalam.

“Masih kangen ya?” tambah Keinara.

Kau lihat Keinara bengong melihatmu. Keinara tak berbusana di atas ranjang kamar hotel. 

“Mas Andra?!” Keinara heran.

“Iya, Aku juga sudah meninju Dewa sebelum masuk ke sini,” terangmu ringan pada Keinara.

Setelah kau melihatnya dengan jelas. Terang semua. Bagimu sudah cukup untuk menjelaskan apa yang kau pikirkan selama ini. Kau berbalik ke arah pintu kamar untuk keluar. 

“Mas! Mas Andra!” Keinara memanggilmu, mengejar sambil menangis.

Namun, dia hanya mengikutimu sampai pintu. Tak mungkin keluar dengan keadaannya yang seperti itu. Kau benar-benar tak memedulikannya rintihannya. Keinara sangat menjijikan pagi itu. Bahkan menurutmu, lebih menjijikan dari seekor binatang. Di sana berakhirlah hubunganmu dengan Keinaramu.

***

Kau sendirian lagi. Namun, kau merasa lebih hidup sekarang. Setelah putusan pengadilan, kau merasa pikiranmu jauh lebih tenang dan bebas. Rekan-rekanmu menjodoh-jodohkanmu pada beberapa perempuan. Bahkan, banyak perempuan mendekatimu. Kau lihat wajahmu di cermin. Kau memang tampan. Tak kalah tampan dengan Dewa. Kau juga mapan dan yang paling penting adalah kau setia. Namun kau selalu menolak. Kau lebih senang melajang dulu. Kau hanya ingin fokus berkarir. 

Dua tahun sudah kau menduda. Ada pesan masuk pada akun BBM-mu, ternyata broadcast dari seorang teman lama. 

“Nisa teman gue kehilangan semua kontaknya, tolong bantu: add ulang ya PIN barunya. Thanks!”

Di sana juga tertera PIN baru yang namanya Nisa. Kau iseng klik PIN tersebut. Tak lama Nisa mengkonfirmasi undangan pertemananmu di BBM. Nisa, kau lihat ia cantik dan berhijab. Pikirmu, mungkin ini cocok untukmu. Perempuan berhijab tak mungkin melakukan affair. Tiba-tiba kau muak karena teringat Keinara dua tahun yang lalu. Kau tutup smartphone dan kembali meneruskan pekerjaanmu. 

“Ndra, malam ada pertemuan dengan klien-klien kita. Hadir ya!” teriak rekanmu. 

“OK!” jawabmu singkat. 

Malam itu kau benar-benar hadir. Pertemuan yang biasa. Hanya ngobrol-ngobrol dan makan malam. Namun spesial bagimu. Di sana kau melihat Nisa dengan teman lamamu yang dulu sempat mengiklankan PIN Nisa. Kau kagum padanya. Hanya itu. Jilbabnya yang terurai membuat kau hormat padanya. 

“Kenalin, Ndra! Ini Nisa,” dia bilang.

“Andra,” kau pun spontan mengangkat kedua tanganmu menempel di dada.

Kau pun tak mengerti kenapa melakukan hal itu. Kau pikir, mungkin seperti itu cara menghormati perempuan berhijab. Malam itu pun berlalu. Bulan menyibak bintang-bintang di langit dengan cantiknya. Kau sangat mencintai langit malam itu. 

Kau pun berangan-angan untuk membuka lembaran baru hidupmu yang lebih indah. Kau beranikan diri mengirim pesan singkat pada Nisa. 

Kau : Assalamu’alaikum. Maaf mengganngu malammu. Aku tak suka bertele-tele. Maukah kamu jadi istriku?

Nisa: 

Wa’alaikum salam. Maaf, mungkin kamu salah kirim.

Kau:

Tidak, Aku Andra memang mengajakmu untuk menikah.

Nisa:

Iya, aku tahu kamu dari temanku.                  Temanku banyak bercerita tentangmu, Kang. 

Kau:

Bagus deh, berarti kamu tahu masa laluku. Ya, sudah. Aku tak mau mengungkitnya. 

Nisa:

Oh, iya maaf, Kang. 

Kau:

Jadi kamu mau atau tidak?

Nisa:

Mau, insya Allah.

Kau:

Alhamdulillah. Syukurlah! Aku gak mau ngajak kamu pacaran.

Nisa:

Aku juga gak kan nerima kamu, Kang kalau hanya ngajak pacaran. 

He ... he ... he....

Kau mantap sekali melamar Nisa. Padahal cinta itu belum tumbuh di hatimu. Namun, kau yakin cinta akan datang sendirinya saat Allah menebar benihnya dalam hatimu. Sejak hari itu kau sering mengajak Nisa makan. Namun kalian tak pernah berdua. Selalu saja beramai-ramai. Sesekali dengan teman-temanmu. Sesekali juga dengan teman-teman Nisa. 

Kau pun makin merasa cocok. Nisa benar-benar berbeda dengan perempuan lainnya yang kau kenal. Kau sangat menghormatinya. Kau sangat menjaganya. Kau tak berani memeluk atau mencium Nisa, seperti yang kau lakukan sebelumnya pada semua mantanmu. Bahkan, memegang tangannya pun kau enggan. Itulah makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang kau tak sadari adanya. Cinta tanpa kau sadari telah mulai tumbuh di hatimu. Cinta itu menjaga pasanganmu. Tak melakukan hal yang diharamkan sebelum akad terucap. 

Kau pun mengunjungi rumah orang tua Nisa. Malam itu kau resmi melamar Nisa. Kau akhirnya memutuskan menyudahi masa dudamu. Di ruang tamu, kau duduk berpegang lutut. Ibu Nisa sangat ramah. Entah ayahnya.

“Kamu yang mau melamar Nisa?” tanya kecut ayah Nisa.

“Iya, Om,” jawabmu gugup.

Kau dan Nisa saling memandang. Tersenyum getir. 

***

T A M A T

Minggu, 18 Juni 2023

[Cerpen] Perkara Sandal Jepit oleh Imi Fadhil


Gambar: canva apk.

Suasana di aula benar-benar khidmat. Sebentar lagi Dya akan melafalkan satu kalimat sakral, "Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar tersebut, tunai! "

“Stop! Aku yang seharusnya berada di samping Dya.” 

Semua mata tertuju padaku, termasuk Dya dan calon mempelai wanita itu. Sayangnya, itu hanya lamunanku saja. Mungkin, peristiwa seperti itu, hanya ada di drama-drama televisi saja.

Nyatanya, Dya mantap sekali mengucap kalimat itu hanya dengan satu kali tarikan napas. Sekelilingnya berteriak, SAH! Semua menyambut dengan penuh syukur. Aku pun harus begitu. Setelah Ijab-kabul terucap Dya menengok senyum ke arahku. Aku balas dengan senyum kecil lagi. Ijab-kabul itu ternyata benar-benar bukan menghalalkanku dengan Dya. Namun, aku harus bahagia kalau sahabatku bahagia.

Setelah sesi foto-foto pengantin selesai, aku memberanikan diri naik ke pelaminan, mengucapkan doa dan selamat pada sepasang yang tengah berbahagia. Aku salami pengantin perempuan, lalu pengantin laki-laki yang tak lain adalah sahabat karibku tanpa bersentuhan. Kami sama-sama tahu adab bergaul dengan orang yang bukan mahrom. 

"Makasih, ya Ul! sudah datang, "sambut Dya basa-basi.

Aku hanya balas senyum.

"Kok sendiri?" lanjut Dya tertawa seenaknya.

"Emang, harus sama siapa?" Aku ikut tertawa. Tepatnya, menertawakan diri sendiri yang jomblo.

Aku tak sempat makan prasmanan. Sebenarnya, tidak tertarik sama sekali. Aku langsung cabut pake motor matikku, Si Fino. Teringat sudah waktunya Zuhur dan belum salat. Aku mampir ke masjid Salman.

Aku membuka kaus kaki dan khimar segiempatku yang panjang. Aku berwudu. Masyaallah, nikmatnya cuaca yang panas tersiram air. Sungguh sejuk sampai ke hati. Aku berdiri dua rakaat salat sunah, lalu empat rakaat salat wajib. Setelah salam, tetiba air mata ini tak terbendung. Sekalian aku adukan rasa ini pada pemiliknya. Kurang lebih satu jam aku mengalirkan rasa. Alhamdulillah, hatiku makin sejuk. Plong rasanya. Walau bekas tangisan ini menjadikan mataku sembab. Aku tak peduli.

Waktunya aku pulang, tapi sebentar, "mana sandalku?"

Aku cari ke sana kemari. Barangkali aku lupa meletakkan sandal itu. Nihil. Tak ada di mana-mana.

"Nyari apa, Neng?" tanya seorang satpam.

"Sandal saya tidak ada, Pak. Sandal warna coklat."

"Astaghfirullah, ada lagi yang ambil." gerutu Pak Satpam.

"Oh, begitu ya, Pak."

Kusapu halaman masjid dengan mataku. Kulihat hanya sepasang sandal jepit lusuh dan kotor berwarna merah yang ada. Mau tidak mau aku harus memakainya. Kuambil lalu kupakai. Eh, tapi ternyata sandalnya putus. Aku ingat bawa peniti di kantongku. Aku coba pasang di bawah sandalnya. 

Aku mencoba jalan seperti biasa. Belum sampai ke parkiran, tapi sandal sudah putus lagi. Aku coba benarkan penitinya kembali. Hidupku kini memang bak sandal yang putus ini.

"Afwan, pakai saja punyaku." Orang asing menyodorkan sandalnya.

Aku pandangi dia dengan sinis.

"Memang sama-sama sandal jepit, tapi punyaku tidak putus," tambahnya.

"Baik, aku pinjam ya sandal cantikmu," ucapku datar. Dalam hatiku merasa sangat aneh. Laki kok pake sandal pink? 

Lelaki berbadan tinggi tegap itu pun tersenyum tipis. Mengeluarkan kertas notes, lalu menuliskan sesuatu.

"Kalau sudah selesai pinjamnya kembalikan ke alamat ini, ya!" pintanya sambil menyodorkan kertas itu.

"O.K.E. Oke, Tuan!" tegasku agak ketus. Aku kira dia benar-benar baik, dasar pelit, pikirku.

"Panggil saja Faaz," tawarnya.

"Baik, Pak Faaz," kataku.

"Emang aku keliatan tua, ya?" gerutunya.

"Apa dong gak enak kalau langsung manggil nama, Gimana kalau Om, Adek, Mas ... " kata-kataku dipotongnya.

"Nah … nah, itu saja, Mas. Lebih enak kedengerannya." ujarnya.

"Iya, iya ... Baik, Mas Faaz. Terima kasih. Sandalnya aku pinjam ya."

Sandalnya agak kebesaran pada kakiku, tapi lebih baik dari pada sandal putus itu. Aku pun menuju Si Fino dan tancap gas menuju rumah.

Beberapa minggu ini aku benar-benar sibuk. Kuliah, kegiatan kampus, dan mengajar les. Aku pulang selepas Isya. Kupandangi sandal jepit kebesaran yang bertengger di rak sepatu di teras rumah. Lucu juga mengingat kisah sandal putus itu. Kupikir lagi, Mas Faaz ganteng juga. Astaghfirullah! Aku tundukkan kembali pandangan dan hatiku. Aku tak mau kecewa lagi.

Telanjur janji, aku akan mengantarkan sandal jepit itu besok. Kurogoh dompetku, kertas dengan tulisan bertinta biru itu masih terlipat rapi. Tulisannya bagus juga nih. 

Aku parkiran Si Fino di sebuah halaman rumah bercat hijau. Di sekeliling rumah itu ditanami pohon-pohon rindang. Teduh. Di halaman tersebut anak perempuan tengah menyapu halaman. Sepertinya orang yang tidak asing bagiku.

"Assalamu'alaikum!"

Gadis itu menengok ke arahku, membalas salam, "Wa'alaikum salam warahmatullah.. "

"Aul!"

"Syifa!"

Aku pun mencium pipi kanan dan kirinya. Syifa adalah teman kampusku hanya berbeda kelas. Kami hanya sekadar kenal saja.

"Ini benar rumah Mas Faaz?"

"Iiiyaaa, kok tau Mas Faaz?!" Syifa mengernyitkan dahinya.

Aku menyodorkan sekantong kantong kertas berisi sandal jepit Mas Faaz.

"Tapi, Mas Faaz lagi gak di rumah. Dia ke kampus, ngajar."

"Nitip ini aja, bilangin makasih ke Mas Faaz. Aku langsung pulang saja, mau ngeles ke Antapani," pamitku.

"Ini kan sandalku," keluh Syifa yang samar-damar terdengar olehku. Aku tak peduli.

***

Sebulan kemudian, selepas pulang Ujian akhir Semester (UAS) di kampus. Kulihat ada sedan terparkir di halaman rumahku. Aku penasaran siapa tamu yang datang hari itu.

"Assalamu'alaikum... "

Bapak, ibu, dan empat orang asing duduk bersama di ruang tamu. Empat orang itu memandangku bersamaan. Mas Faaz, Syifa, dan dua orang lagi sepertinya adalah orang tua mereka. Ada apa ini?

Aku benar-benar tidak paham apa yang sedang terjadi.

Ibu merangkulku, "Kamu sudah siap menikah?"

Aku makin tak mengerti.

***

TAMAT

Cerpen ini merupakan salah satu cerpen hasil nulis bareng nulisyuk!

BIONARASI

Penulis bisa dikunjungi di instagram dengan nama @imifadhil, seorang ibu bahagia dari tiga putri. Menulis adalah salah satu cara mengalirkan rasa agar tetap waras dalam menghadapi nano-nano kehidupan.