Jumat, 25 Agustus 2023

[Cernak] Doremi Karya Imi Fadhil



Gambar: Canva Apk

Di jalanan menuju pulang aku bergegas setengah berlari karena aku tahu kalau hari ini jadwal Bapak pulang. Hampir setengah tahun Bapak meninggalkan kami untuk pekerjaanya di negeri sakura, Jepang.

“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil membuka pintu.

“Waalaikum salam warahmatullah!” jawab Ibu dan Bapak serentak.

Aku langsung berlari ke arah Bapak berdiri. Aku langsung memeluknya dengan erat.

“Bapak, kenapa lama pulangnya?” protesku.

Bapak hanya tersenyum.

“Sudah, Nak. Lepaskan! Bapakmu capek mau istirahat,” saran Ibu.

“Ya, sudah. Aku ke kamar dulu.” Aku kecewa karena masih kangen Bapak.

Aku pun menaiki tangga, tapi saat aku naik satu-dua anak tangga. Aku teringat sesuatu. Ada satu hal yang aku lupakan. Aku pun berbalik arah, menengok ke arah Bapak lagi.

“Pak, mana oleh-oleh untukku?” tagihku.

“Sudah Ibu simpan di kamarmu, bawel.” Ibu bantu menjawab pertanyaan yang sebenarnya kutunjukkan ke Bapak.

“Oke! He..he..he..!” Aku tertawa kecil.

Aku lanjutkan langkah kecilku menuju surgaku. Kamar kecil tempatku merebahkan raga ini. Segenap rehat dari aktivitas dan rutinitas. Tahun ini, aku kelas 2 SD. Sepanjang langkahku menuju kamar aku berpikir hadiah apa yang Bapak berikan padaku.

“Kok deg-degan ya?” pikirku dalam hati.

Perlahan aku membuka pintu. Tetiba ada yang menyapaku.

“Selamat datang, Dilah! Selamat datang, Dilah!”

“Kamu siapa? Ini kan kamarku,” tanya Dilah pada makhluk aneh itu.

“Aku Doremi,” jawabnya.

“Hah? Siapanya Doraemon?” candaku.

“Aku cucu Doraemon.”

Aku makin bingung. Aku pun menghampiri makhluk aneh yang mengaku cucunya Doraemon itu. Doremi berkata lagi, “Aku adalah hadiah dari Bapakmu, asli jepang.”

“Kamu bisa apa aja?” introgasiku.

“Banyak.” Balasnya.

“Ya, apa?” aku tanya balik.

“Apa saja. Aku bisa apa saja.” Jelasnya.

Aku masih aneh. Aku pun langsung menuju ranjangku. Aku tak sedikit pun memedulikan makhluk itu. Aku hanya capek. Aku ingin istirahat.

Doremi pun mengeluarkan sebuah pintu dalam kantongnya.

“Pintu ajaib!” kata Doremi.

Aku terperanjat dari tempat tidur.

“Aku mau ke masa depan, bisa kah?” tanyaku.

“Tentu saja bisa,” jawab manis Doremi.

Doremi bentuk perempuan dari Doraemon. Mungkin, memang benar bahwa ia masih keturunan Doraemon. Bapak membelinya dari jepang. Seperti Doraemon, Doremi pun punya kantong ajaib yang punya banyak benda ajaib.

Aku pun masuk ke pintu ajaib bersama Doremi. Saat membukanya terasa angin besar, sangat besar menyibak kerudung putihku. Aku langkahkan satu kakiku. Aku mulai merasakan dimensi yang berbeda. Dimensi waktu yang tak biasa.

Aku tiba di jalan raya yang sangat modern. Tak ada motor berkeliaran, yang membuat jalanan macet. Yang ada hanya tranportasi umum. mobil, bus dan kereta api yang jauh berbeda dari jangkauan ingatanku selama ini.

“Ini Indonesia?” tanyaku pada Doremi.

“Iya, ini Indonesia. Is it wonderful right?” kata Doremi.

Aku mengangguk. Aku benar-benar takjub dan tak habis pikir, di mana aku berada. Kemudian aku melihat ada layar berjalan bertuliskan 26 Maret 2099. Di situ aku tahu kalau aku sedang berada di tahun 2099. Sembilan puluh dua tahun dari sebelum masuk ke pintu ajaib punya Doremi.

Doremi mengajakku naik angkot. Jangan kamu bayangkan angkotnya seperti angkot jurusan Cipatik-Tegalega berwarna kuning. Tidak juga seperti angkot jurusan Soreang-Leuwi Panjang, berwarna hijau. Angkot di tahun 2099 tidak mengenal ‘ngetem’. Penumpang yang hendak naik angkot harus pergi ke sebuah tempat semacam halte. Tak susah mendapati halte yang aku maksud.

Aku dan Doremi pun menuju halte hanya lima meter dari tempat kami pertama berdiri. Halte memang ada di tiap dua puluh lima meter saja di tiap tepi jalan. Aku pun memencet tombol tujuan agar mobil angkutan umum berhenti di tempat kami.

Tak sampai lima menit, mobil angkutan umum pun berhenti. Pintunya terbuka, menyambut kami.

“Silakan masuk, nona!” mobil itu bersuara.

Kami pun masuk. Aku duduk di kursi sebelah kanan. Doremi duduk di sampingku. Kursinya sangat empuk. Bahkan, bisa disebut sofa. Hanya beberapa orang yang ada dalam angkutan tersebut. Sepertinya semua pelajar. Semua seperti kaku. Aku tak tahu itu robot atau manusia. Raganya memang sangat mirip manusia, tapi rasa kemanusiaannya sama sekali tak ada. seperti tak ada kehidupan dalam angkutan tersebut. Hal itu membuat saya bosan. Waktu terasa berjalan lebih lama.

Dalam mobil tak ada kondektur, bahkan supirnya pun ternyata tidak ada. Semua dikendalikan oleh mesin jauh dari stasiun pusat pengendalian angkutan umum. Tak ada jalanan macet. Adapun jika mecet, roda akan berdiri sejajar, mobil pun menaik di atas udara sekitar dua meter atau lebih tinggi sesuai dengan kebutuhan. Jalanan macet pun dilalui tanpa hambatan.

Kulihat bus pun sama begitu. Melayang di udara jika macet terjadi. Dengan ditopang ban yang sejajar dan ramping. Jika jalanan tak macet lagi mobil atau bus kembali ke keadaan semula. Namun, bus adalah kendaraan untuk kebutuhan transportasi jarak jauh.

Manusia yang aku temui semua muda, tak ada seorang pun kakek atau nenek. Hal itu karena, kata Doremi, manusia di masa ini usianya terhenti di umur dua puluh lima tahun.

“Manusia, dengan otaknya yang hebat sudah menemukakan penawar tua,” tambah Doremi.

“Masya Allah! Yang paling adalah hebat Allah yang menciptakan otak manusia.” Decakku kagum.

“Itu apa Doremi?” aku menunjuk benda yang melintas cepat di udara, tapi masih ada dalam satu garis lintasan.

“Itu, kereta api, Dilah.” Doremi menjelaskan.

“Kalau Dilah mau ke Surabaya, cukup 5 menit saja, bisa sampai di sana.”

Aku tak hentinya berdecak kagum.

“Aku ingin tahu rumah sakit di tahun 2099 seperti apa?” gumamku.

Doremi mendengarkan gumamanku dan langsung menimpali, ”Di sini tak ada rumah sakit.”

“Kenapa?” tanyaku terheran-heran.

“Semua penyakit sudah ada penangkalnya maka tak perlu ada lagi rumah sakit.”

“O..la..la!” aku menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

“Kamu mau rekreasi ke luar angkasa?” saran Doremi.

“Caranya?” tanyaku.

Tak jauh dari tempatku turun dari mobil angkutan umum ada tempat peristirahatan pesawat ulang alik, yang akan mengantarkan kita ke angkasa luar. Ada yang sekadar rekreasi. Ada pula yang ingin menetap di planet lain, seperti mars.

Aku lihat anak-anak TK dan SD berbondong-bondong ke sana. Aku tertarik, tapi tiba-tiba aku rindu keluargaku dan teman-temanku di 2020.

“Aku mau pulang, Doremi,” pintaku.

Kata Doremi, masih banyak hal yang belum aku saksikan di tahun ini, 2099. Namun, aku lebih memilih untuk pulang. Di sini aku memang dimudahkan dengan berbagai fasilitas yang serba lengkap dan praktis. Namun, aku merasa sepi. Aku merasa sendiri. Manusia tidak lagi seperti manusia, yang ramah dan baik hati. Manusia tidak jauh dengan robot, yang kaku dan tak peka. Di sini, di tahun 2099. Aku mungkin tak akan punya teman selain Doremi. Ya, Dia adalah Doremiku tahun 2099.

Doremi pun mengeluarkan pintu ajaibnya dalam kantong. Menuntunku masuk lagi ke duniaku yang sebenarnya di tahun 2007. Baru saja sampai kamar. Ibu mengetuk-ngetuk pintu sambil memanggil-manggil namaku.

“Dilah! Dilah!”

***

“Dilah! Dilah!

Suara itu samar-samar terdengar di telingaku. Perlahan aku membuka mata. Aku pun terduduk. Tak megindahkan suara Ibu di balik pintu. Aku lihat kalender, 26 Maret 2020. Aku lihat jam weker, menunjukkan pukul 05.00 WIB. Rupanya aku bermimpi.

***

T A M A T


Imie Fadhil adalah nama pena dari Ilmi Fadillah. Penulis tinggal di Jl. Cigondewah Hilir no. 264 Kp. Cikeueus RT 07 RW 06 Desa Rahayu Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, Kode 

Pos 40218. Penulis bisa dihubungi di nomor 08987441029. IG: @imifadhil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar