Minggu, 07 Oktober 2018

[BLOG TOUR BLACK LEATHER JACKET] Pengumuman Pemenang Give Away

Sore semua! Sudah sore gini, tapi di tempatku matahari masih terik loh. Maaf ya bagi yang menunggu pengumuman. Dari pagi kegiatan cukup padat. Apalagi harus ke kondangan dulu. Hehehe..

Baiklah dari pada nulis gak jelas gini, mending langsung aja ya aku umumkan pemenang give away BLJ. Sebenarnya semua jawaban bagus-bagus. Namun, aku putuskan yang beruntung dapat 1 eksemplar novel karya Aditia Yudis dan Ifnur Hikmah ini adalah yang nulis jawaban ini nih. Jeng... Jeng... Jeng...



Selamat ya Kak Desita segera dm ke akun @imie_sidiq 
Sebut nama lengkap, no hp, dan alamat lengkap. 


Senin, 01 Oktober 2018

[EXCLUSIVE FIRST CHAPTER] Marriage Deal Karya Marisa Umami


Hallo! Readers! Pagi! masih pagi kan ya? Siapa nih yang gak sabar nungguin Exclusive First Chapter Marriage Deal. Kalau sayasih yes!

Tadi aja aku bacanya sambil senyum-senyum sendiri. haah! Mudah-mudahan gak disangka orang gila. sebenarnya iya sih. saya lagi tergila-gila nih sama novel romance satu ini. Kak Marisa Umami sukses deh bikin saya jatuh cinta ke Mas Agam (Mas? hah? ya bebas lah yah Abang juga boleh), bahkan hanya baru first chapter. Beneran gak sabar pengen lahap habis sampai tuntas-tas-tas. 

Makanya kamu juga wajib baca Exclusive First Chapter-nya ya! Selamat membaca dan jatuh cinta.

PROLOG

Funny faces in sunny places
Being love it feels so great
And all I need is two ingredients:
My buttercup, and the perfect place
Me and you, here’s what we’ll do
Walk hand in hand, into lover’s land
You’re the best
And I can’t resist a kiss on the lips1

"Hah!" dengusku begitu membaca deretan kalimat sok puitis yang tertulis di atas selembar tisu makan lembut berwarna putih cemerlang. Aku menurunkan kacamata hitamku hingga ke ujung hidung. Tinta hitam yang tercetak tegas membentuk rangkaian alfabet itu masih memenuhi pandanganku. 

Kuperbaiki posisi syal rajut tebal yang meliliti leher sampai menutupi separuh wajah. Mataku lalu mengekor dua orang yang baru saja meninggalkan meja dan melenggang keluar dari restoran. Dari balik dinding kaca, aku mengawasi mereka melangkah gontai ke area parkir di sayap kiri bangunan. Jaraknya cukup dekat sehingga aku masih bisa melihat jelas wajah keduanya. Si perempuan bertubuh molek tersenyum sambil menyelipkan belahan samping rambut berpotongan bob miliknya ke belakang telinga saat si lelaki membukakan pintu mobil untuknya. Laki-laki itu tampak tersenyum saat melangkah menuju pintu kemudi.

“Bisa kita makan sekarang?” suara bosan Tami memecah konsentrasiku.

“Bagaimana menurutmu? Mereka berdua ada hubungan spesial, kan?” tanyaku balik. Mataku masih mengawasi mobil yang bergerak menjauhi restoran.

“Kelihatannya perempuan itu cuma klien,” kata Tami dengan nada amat meyakinkan. Aku tak tahu bagaimana dia bisa seyakin itu.“Lihat, lihat!” kataku menyodorkan tisu di tanganku.

“Hmm... sweet. Tapi, menurutku puisi ini bukan untuk perempuan itu. Mungkin ini buat kamu malahan.”

Aku memutar bola mata mendengar komentar yang sangat tidak rasional itu. Puisi ini untukku? Tidak mungkin. Namun, aku tak bisa me- nahan diri untuk tak bertanya mengapa pikiran itu bisa muncul di kepala Tami. “Kenapa begitu?”

“Karena dia meninggalkannya di sini, bukannya ngasih ke perempuan itu.”

Aku mengernyit, masih tak paham dengan jalan pikiran Tami. Mung- kin perutnya yang lapar membuat dirinya menjawab secara asal. “Alasan yang cukup masuk akal adalah... penyamaranmu sudah terbongkar. Jadi, stop bertingkah jadi detektif konyol begini dan berbahagialah untuk pernikahan kalian minggu depan.”

BAB 1
“Happy wedding, Lian!”

Ratusan tamu bergiliran mengucapkan selamat ke atas panggung pelaminan yang dipenuhi dekorasi bunga mawar. Tinggi panggung itu kurang lebih tiga puluh sentimeter dari permukaan lantai. Beberapa pelayan hotel yang mengenakan rompi merah tampak berseliweran di antara meja-meja bundar. Mereka hilir mudik menawarkan berbagai penganan pesta kepada para tamu. Tiap kali mataku tertumbuk pada pinggan-pinggan lebar berisi aneka canape yang mereka bawa, kelenjar
ludahku serasa berproduksi ekstra.

Gigiku bergemeletuk saat melihat kakak perempuanku satu-satunya itu sedang sibuk di sisi kanan kolam renang. Dia kelihatan begitu bahagia mengatur tempat duduk untuk para tamu, yang dengan patuh menuruti dress-code yang telah ditentukan olehnya: merah putih. Aku menelan ludah. Juga menelan penyesalan atas keputusanku untuk menyerahkan segala tetek bengek resepsi ini kepadanya. Kalau saja dia menambahkan umbul-umbul merah putih, maka dia sukses menyulap pesta pernikahanku menjadi perayaan tujuh belasan yang tak terlupakan. Ya, aku tak akan bisa lupa bahwa untuk malam ini mungkin aku telah menjadi pengantin paling nasionalis se-Indonesia Raya.

Papa dan Mama tampak tak kalah bahagianya. Walau rambutnya mulai memutih, Papa masih terlihat gagah dengan balutan jasnya. Sebuah senyum kecil merekah di wajah yang biasanya sekaku batu itu. Sedangkan Mama tampil anggun dalam kebaya putih berpadukan rok dan selendang batik merah, yang dijahit khusus dan seragam bersama besannya. Lantunan nada Marriage D’Amour yang dibawakan oleh seorang pianis lokal terdengar di udara, mengiringi canda tawa mereka.

Aku menyambut tetamu yang hadir dengan wajah paling semri- ngah yang bisa kutampilkan. Satu set senyuman lebar dan ucapan terima kasih seolah sudah di-template oleh otakku. Alhasil, otot-otot pipiku kaku akibat terlalu banyak tersenyum. Mungkin setelah ini aku harus mengatur jadwal konsultasi dengan ahli fisioterapi.

Berbagai aroma parfum yang silih berganti masuk ke hidung lama- kelamaan membuatku pening. Kepalaku berdenyut-denyut. Dan itu diperparah dengan adanya sebuah mahkota cantik, yang walaupun sebenarnya tak begitu berat, tapi terasa menusuk kulit kepalaku. Selama sepersekian detik pandanganku mengabur. Mataku berkunang-kunang. Hampir saja aku terjungkal ke depan kalau tidak ada tangan yang keburu menahanku untuk tetap berdiri tegak.

Aku melirik sosok lelaki di samping kananku, yang tampak gagah dalam balutan tuksedo putih lengkap dengan bow-tie merah cerah. Sebelah alis menonjol yang menaungi matanya terangkat. “Are you okay?”

Aku bergidik. Entah karena pori-pori pada lengan gaunku, air kolam yang mulai mengembun, atau lantaran tatapannya yang dingin.
“A-aku... I’m fine. Thanks.”

Agam, lelaki yang pagi tadi telah resmi menjadi suamiku itu tersenyum menyeringai. Ada gerakan halus di sekitar tulang pipinya. Perlahan dia melepas cengkeramannya dari kedua lenganku.
Sial! Makiku dalam hati. Seharusnya aku tidak perlu gelagapan menjawab pertanyaannya.
Aku menarik napas panjang dan mencoba bersikap sesantai mung- kin. Namun, butuh upaya ekstra untuk itu sebab gaun yang kukenakan tiba-tiba saja terasa begitu mencekik di tubuhku. Dadaku sesak. Rasanya kelima lobus paru-paruku berniat untuk menerobos kungkungan tulang rusuk yang melindunginya.

Untuk menunjukkan bahwa aku tak terpengaruh oleh gestur yang baru saja dilakukannya, kucoba menampilkan pose mesra tiap kali ada tamu undangan yang mengajak berfoto bersama, seolah hal itu adalah hal biasa. Mulai dari mengaitkan lengan sampai berusaha menyandar- kan kepala di ujung bahunya, yang agak sulit bagiku mengingat tubuh- nya yang lebih jangkung—mungkin hampir 180 sentimeter.

Aku tak tahu berapa banyak frame yang telah dihabiskan tim foto- grafer untuk mengabadikan setiap momen kami. Aku hanya berharap pesta ini bisa segera usai. Sayangnya, tamu tak berhenti berdatangan. Aku jadi bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak sebenarnya undang- an yang disebar oleh Kak Linda? Seingatku, aku mengatakan padanya untuk membuat pesta kecil-kecilan saja. Cukuplah tamu dari kalangan keluarga dan teman-teman dekat.

Aku baru bisa bernapas lega ketika Mama dan Kak Linda membimbingku masuk ke salah satu kamar berukuran deluxe, yang dipenuhi dekorasi mawar merah putih. Aku mendudukkan diri di atas tempat tidur jumbo yang dilapisi seprai berbahan amat lembut. Bulu kudukku meremang membayangkan aku akan menghabiskan malam di tempat ini bersama seorang lelaki.

Sebuah cermin besar di meja rias menampakkan bayangan diriku. Gaun berlengan panjang dengan potongan leher agak rendah membalut tubuhku dengan ketat. Bahan brokat Prancis yang dipadu kain sutera lembut dan beberapa permata membuat gaun itu tampak elegan. Aku menyukai modelnya yang sederhana. Dari sekian banyak detail pesta, kurasa gaun inilah satu-satunya yang tidak kusesali.

Dan harus kuakui, dengan polesan make-up yang tak gampang luntur ini, aku merasa lebih cantik dari biasa. Riasan yang tak terlalu tebal, membuat mataku yang seperti bulan separuh jadi kelihatan lebih besar. Aku juga suka bagaimana penata riasku memilih memoles gincu warna pink lembut di bibirku yang cukup tebal, alih-alih warna merah menya- la. Meski begitu, aku tetap bisa melihat kerutan kecil yang muncul di keningku.

Mama sepertinya menangkap raut kecemasan di wajahku. Dia menarik tanganku ke atas pangkuannya dan menepuk-nepuknya dengan pelan. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya mengangguk dan ter- senyum menenangkan. Namun, aku tidak merasa tenang sama sekali. Rasanya, aku seperti sedang menjalani ritual perpisahan sebelum menghadapi eksekusi. Seperti narapidana kasus narkoba yang akan ditembak mati. Seperti seekor sapi yang akan dikurbankan pada hari raya lebaran haji. Seperti… yah, seperti itulah kira-kira.

Sesaat sebelum Mama akhirnya keluar dari kamar dan meninggalkanku berdua saja dengan Kak Linda, sejujurnya aku ingin sekali memintanya untuk tinggal lebih lama. Namun, entah kenapa aku tak bisa melakukan itu. Aku hanya memeluknya erat dengan sebersit perasaan bersalah. Sepeninggalannya, Kak Linda mulai membantuku ganti pakaian.

“Wajar kalau kamu gugup, Lian.” Kak Linda melepas mahkota kecilku dan meletakkannya di meja rias. “Saat malam pertama dulu, kakak juga gugup setengah mati,” katanya tanpa sungkan. “Bahkan, saat sudah berdua dengan papanya Gio pun, masih saja gugup.”

Aku cuma bisa meringis dan membiarkannya membebaskan rambutku dari jepitan bobby pin yang tak terhitung jumlahnya.

“Semua akan berlangsung alamiah. Percaya, deh. Kamu hanya perlu mengikuti instingmu.”

Kupaksakan sebuah senyum kecil di bibirku yang lelah sambil melepas kalung dan antingku. Dalam hati, aku menolak saran itu. Selama otakku masih bisa berfungsi dengan normal, aku tak akan pernah membiarkan insting mengambil alih kesadaran diriku.

Kak Linda mengeluarkan sehelai lingerie merah dari dalam lemari dan menyerahkannya padaku. Aku hanya bisa menatap pakaian itu dengan ngeri. Seketika, aku merindukan piama Doraemon-ku di rumah.
“Haruskah?” protesku dengan wajah memelas.

“He-eh.” Kak Linda mengangguk mantap. “Singkirkan rasa malumu! Pikirkan segala hal yang menyenangkan. Biarkan—“

Bunyi pintu dibuka dari luar membuat Kak Linda berhenti bicara. Aku menjulurkan leher untuk melihat siapa gerangan malaikat baik hati yang datang menginterupsi kuliah pengantar malam pertama dari kakakku.

Deg. Aku meremas kain di tanganku ketika melihat Agam muncul bersama si kecil Gio dalam gendongannya. Hah! Sejak kapan mereka akrab begitu? Gio biasanya paling rewel kalau bertemu orang baru.

“Sepertinya Gio sudah ngantuk, Mbak,” kata Agam sembari mengusap kepala balita yang matanya tampak tinggal ‘lima Watt’ itu.

“Ah ya ini memang sudah lewat jam tidurnya.” Kak Linda meng- ambil Gio dari Agam dan menukarnya dengan sisir. “Kalau gitu Kakak tinggal ya. Sampai ketemu besok di rumah.”

Kami berdua kompak mengangguk. Kak Linda mengerling padaku sebelum keluar dari kamar. Wajah bingung Agam tampak jelas saat menatap sisir di tangannya. Dia mengangkat sebelah jari dan mengusap hidungnya yang bengkok bak paruh burung rajawali, beralih menatapku sebelum mengangguk-angguk. Aku bersumpah melihat seulas senyum jail tersungging di bibirnya. Apa yang dia rencanakan?

We’re alone, now,” ujarnya sambil melangkah mendekat.

Aku menghindar saat dia mengulurkan tangan untuk menyisir rambutku. “Yes, we are. Tapi yang kamu maksud adalah... you’re alone and I’m alone. Right?”

Kening Agam berkerut mendengar ucapanku. Sebuah senyuman sinis muncul dari sudut-sudut bibirnya. “So, it’s not we, not us. Just you.
Just me. Seperti itu?”

“Tepat!” sambarku cepat. “Kurasa aku sudah mengatakannya dengan jelas padamu sebelumnya.”

“Yah, amat sangat jelas.” Agam mencengkeram kedua pundakku dengan pelan lalu mengarahkan wajahku ke depan cermin. Tanpa memedulikan protesku, dia mulai menyisir rambutku yang untungnya tak disemprot banyak hair spray.

“Kenapa?” tanyanya saat melihatku merengut. “Bahkan ini pun nggak boleh?”

“Kita sudah membicarakan soal ini. Kita sudah sepakat, kan?” 

“Kesepakatan ditentukan oleh kedua belah pihak, Bu Dokter. Aku nggak pernah bilang setuju.”

“Tapi kamu juga nggak bilang nggak setuju,” tukasku tajam.

Agam tak membantah. Dia menghentikan aktivitas menyisirnya dan menurunkan wajah sampai beberapa senti di atas bahu kananku. Dari sudut-sudut mataku, kulihat dia menoleh kepadaku. Selama bebe- rapa saat dia hanya diam dalam posisi itu. Embusan napasnya menerpa leherku dan membuat bulu-bulu halus di sana menegak. Aku tak bisa menghentikan debaran jantungku saat menghirup aroma menyenangkan yang menguar darinya.

“Jangan coba-coba merangkak naik ke ranjangku!” kataku setelah berhasil menguasai diri. “Kamu tidur di sofa.”

“Kenapa? Kamu bakal lapor ke polisi?” tanyanya ketus.

 Aku menelan ludah. Pertanyaan itu menohok hatiku. Benar juga. Apa yang akan kulakukan kalau dia benar-benar mencoba untuk tidur denganku? Apa aku akan berteriak minta tolong dan membangunkan seisi hotel? Apa aku akan melaporkan lelaki ini atas tuduhan percobaan perkosaan? Lelaki yang sudah legal menjadi suamiku?

“Kita tidak saling mencintai,” kataku akhirnya.

I can do it without love,” timpalnya penuh keyakinan. “Cinta bukan satu-satunya alasan untuk melakukan itu. Karena kamu dokter, pasti lebih tahu daripada aku.”

“Nggak. Aku nggak bisa.”

“Kenapa nggak?”

“Karena tanpa cinta, aku merasa nggak ada bedanya seperti... PSK?” kataku ragu. “Dan aku pastikan kalau kamu akan ceraikan aku. Segera.”

Agam menarik mundur wajahnya yang diselimuti kabut ketidaksetujuan. Dia melempar sisir ke meja dan memasukkan tangan ke kantong celana. Rahangnya mengeras. “Aku juga nggak berniat memeluk kerangka hidup sepanjang malam,” dengusnya sebelum mengeluarkan sebuah pass key dengan nomor kamar berbeda. “Jangan khawatir, aku akan tidur di kamar sebelah. Kamu bisa mengarang cerita malam pertama kita tanpa gangguan,” katanya lalu melenggang ke luar.

Aku menatap wajah merah padam di dalam cermin. Secara refleks jemariku meraba tulang selangka yang menyembul di atas leher gaunku. Marah dan malu bercampur menjadi satu. Aku tak pernah merasa seterhina ini sebelumnya.
***
Keesokan paginya, aku sudah siap dalam satu-satunya pakaian yang disiapkan Kak Linda untukku, sebuah gaun biru lengan pendek setinggi lutut. Garis lehernya yang cukup rendah membuatku beberapa kali menaikkannya agar belahan dadaku tak kelihatan, yang sebenarnya tak begitu perlu. Mau tak mau aku kembali teringat akan istilah Agam tadi malam. Apa? Kerangka hidup? Aku merunduk dan menghela napas. Memang benar, sih.

Beberapa saat lamanya aku menatap iba pada kelenjar mammae yang menonjol minimalis di depan tulang rusukku itu. Aku membusungkan dada, berusaha membuatnya terlihat lebih besar. Namun kemudian, aku menyerah pasrah. Sepertinya hanya silikon yang dapat menyelamatkannya. Atau paling tidak, bra dengan busa super ekstra.

Aku mengucir rambut lurus sepunggung yang hitam legam dan menyisir poninya dengan jari. Melihat sepasang heels di rak membuatku mendesah pelan. Bukannya anti pada sepatu hak tinggi. Hanya saja aku tidak terbiasa dan tidak nyaman melangkah jika mengenakannya.

Aku berjongkok dan menatap bergantian sepatu itu dan sandal kamar yang disediakan oleh pihak hotel, yang anehnya selalu saja kebesar- an untuk ukuran kakiku. Padahal kakiku tidak mungil-mungil amat. Aku tak punya pilihan lain. Akhirnya aku memasang sepatu berhak enam sentimeter itu di kakiku dengan perasaan enggan. Setelah menyambar ponsel dari atas meja, aku keluar dari kamar untuk sarapan.

Di depan pintu kamar sebelah, langkahku terhenti. Aku membu- nyikan bel, tapi tak ada jawaban. Apa dia belum bangun? Aku mengetuk pintu beberapa kali. Namun, sepertinya tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Aku menimbang-nimbang sejenak sebelum memutuskan untuk menelepon. Nada sambung terdengar cukup lama sebelum akhirnya suara operator perempuan memberitahuku bahwa nomor yang kutuju tidak menjawab. Mungkin dia sedang mandi. Aku mencoba menelepon sekali lagi. Namun, masih juga tak diangkat. “Peduli amat! Kalau lapar nanti juga cari makan sendiri,” gerutuku sambil melangkah menuju lift.

Restoran di lantai puncak sudah tampak ramai ketika aku sampai. Aku memilih seporsi omelet sebagai menu sarapan dan memesan ke koki yang sedang bertugas. Aku lalu mengisi penuh sebuah gelas tinggi dengan susu. Saat mengedarkan pandangan untuk mencari meja kosong, mataku bertemu dengan mata Agam yang duduk manis di meja pojok, cukup jauh dari meja-meja lainnya.

Hah! Rupanya dia sudah ada di sini. Aku merasa konyol karena sempat mengkhawatirkannya beberapa saat lalu, padahal ternyata dia tengah menikmati santap paginya seorang diri. Sepotong kaus hitam berkerah ‘V’ dan celana pendek motif army membungkus badannya yang lumayan kekar. Rambut cokelat gelapnya yang dipotong pendek tampak acak-acakan, tapi tidak sampai membuatnya terlihat kumal.

Agam tidak mengacuhkanku dan menyuapkan potongan roti bakarnya dengan santai. Pelan-pelan aku melangkah menuju mejanya. Namun, baru beberapa langkah, seorang perempuan sudah lebih dulu sampai di situ.

“Kursinya masih kosong?” Aku bisa mendengar samar suara pe- rempuan yang tersenyum genit itu.

Langkahku tertahan. Aku menunggu bagaimana reaksi Agam. Dan aku kesal sekali ketika dia dengan entengnya mengiyakan bahwa kursi di hadapannya masih kosong. Aku sudah akan berbalik mencari meja yang lain ketika kudengar dia kembali bicara. “Kursi itu memang masih kosong. Tapi, lebih baik cari yang lain saja.”

“Eh?” Perempuan itu terlihat keheranan dengan jawaban Agam.

“Cari meja yang lain saja,” ulang Agam. Ekspresinya tetap datar.

Aku terperangah. Bagaimana bisa lelaki itu begitu tak berperasaan?

“Kenapa kamu nggak suruh dia duduk saja di sini?” tanyaku begitu mendaratkan bokong ke kursi yang diminta oleh perempuan tadi.

“Karena aku tahu kamu mau duduk di situ,” jawabnya tenang. Dia menyeruput kopi dari sebuah cangkir putih, yang meninggalkan bekas basah pada bagian atas bibirnya. “Nice dress, by the way,” komentarnya, lalu mengusap mulut yang dibingkai dengan sisa-sisa cukuran kumis dan cambang tipis dengan selembar tisu.

Pujian bernada mengejek itu membuatku salah tingkah. Sontak saja aku menempelkan telapak tangan di depan dada. “Ini ulah kakakku, asal tahu saja.”

Dia tampaknya menikmati reaksiku. “Jadi, bagaimana malam pertamamu?” tanyanya.

Pelayan yang datang mengantarkan omelet pesananku membuatku tak langsung menjawab pertanyaan itu. Barulah ketika lelaki bersera- gam putih hitam itu berlalu dari hadapan kami, aku buka suara. “It’s really a good night, asal tahu saja. Untuk sekian lama akhirnya aku bisa tidur dengan pulas.”

“Benarkah?” Agam menaikkan sebelah alisnya. Ada nada tak percaya dalam suaranya.

“Hmm. Memangnya kamu pikir aku bakal menyesal sepanjang malam karena nggak tidur bareng kamu?” Aku memotong omeletku dengan garpu dan mulai makan.

“You should.”

“Hah!” dengusku. “Kenapa?”

“Because if you spent last night together with me, it would be a very good night,” katanya dengan penuh percaya diri.

Aku hampir tersedak mendengarnya. Buru-buru aku meraih gelas susu dan menenggak separuh isinya. Dia terkekeh, mungkin geli melihat tingkahku. Dia menyalakan pemantik dan bersiap untuk membakar rokoknya.

“Merokok bisa membunuhmu. Belum pernah dengar?” sindirku.

“Semua orang juga akhirnya toh akan mati,” balasnya santai. Dia lalu mengisap batang tembakau itu dan meniup asapnya ke arah samping.

“Kebanyakan orang setengah mati berjuang mengumpulkan rupiah untuk melanjutkan hidup. Sementara kamu menghamburkan uang demi mati konyol karena rokok,” keluhku seraya menggeleng-geleng.

“Kita nggak bisa menentukan bagaimana cara kita mati nanti kan? Maksudku, itu kan sudah suratan takdir.” Agam menyeringai.

“Ya, tapi pilihan hidup kita bisa membengkokkan takdir.”

“Oh, ya?”

“Misalkan saja kamu ditakdirkan mati saat umur 40. Karena kamu merokok, kemungkinan untuk terserang berbagai penyakit akan lebih tinggi. Bisa saja kamu mati lebih cepat. Umur 29, misalnya.”

Wajah Agam menegang lucu begitu aku menyebutkan usianya. “Yang namanya takdir kematian pasti sudah tertulis kapan dan bagaimana caranya. Taruhlah aku akan mati karena kanker paru-paru. 

Walaupun aku nggak merokok, penyakit itu pasti akan mencari jalannya sendiri untuk mengantarku pada kematian.”

Aku terdiam sejenak untuk memikirkan argumentasiku. “Aku nggak setuju. Kalau benar cara kerja takdir kematian seperti itu, maka bunuh diri nggak akan jadi dosa. Membunuh nggak akan jadi dosa.”
Kali ini giliran Agam yang membisu. Namun kemudian, ekspresi- nya perlahan berubah serius. “Jadi, kenapa kamu bersedia menikah denganku?”

“Terpaksa,” koreksiku. “Kamu dan aku sama-sama dipaksa untuk menikah, bukankah begitu?”

Dia menggeleng. “Kamu, aku, sama-sama punya pilihan untuk menolak. Tapi, lihat apa yang terjadi! Bukankah ini cara kerja takdir?”

“Kita hanya memilih untuk menjadi anak berbakti,” protesku tak setuju. “Dan seperti yang sudah aku katakan, kita akan bercerai secepat mungkin.”

Agam tersenyum sinis. “Biar sejuta kali kamu ngomong cerai, kalau aku nggak setuju, itu nggak akan pernah terjadi.”

“Aku nggak akan pernah bisa jadi istri yang baik buat kamu,” kataku dengan suara berbisik.

Sebuah pikiran melintas di benakku. Jika aku mengatakan kepada- nya bahwa aku mandul mungkin dia akan mempertimbangkan tawaran cerai dariku. Namun, secuil perasaan takut membuatku menepis pikiran itu jauh-jauh. Lebih baik mencari jalan lain daripada di kemudian hari hal itu benar-benar menjadi kenyataan. “Kamu sendiri, kenapa mau menikah sama aku? Kamu nggak berpikir kalau kita akan hidup bersama selamanya, kan?”

“Bagaimana kalau iya? Aku bisa hidup serumah tanpa cinta kok. Tenang saja.”

“Tapi aku nggak bisa!” jeritku tertahan.

Then try to love me! Simpel kan?”

Aku terperenyak di kursiku. Seandainya sesederhana itu mungkin hidupku akan jauh lebih mudah. Cinta bukan hal yang bisa kau putuskan begitu saja. Dalam realita, cinta menghadirkan banyak konsekuensi. Dan untuk saat ini, aku masih terlalu sibuk untuk menanggung berbagai konsekuensi yang mungkin timbul nantinya. “Perlu kamu tahu, aku nggak akan melakukan kewajibanku sebagai istri. Aku juga akan meng- awasimu. Kalau sampai tertangkap basah bersama perempuan lain, aku nggak akan ragu mengajukan gugatan cerai.”

Agam memandangku dengan tatapan tak mengerti. “You're insane, katanya sebelum beranjak pergi meninggalkanku.
Ya, aku rasa aku memang gila. Memilih pernikahan ini adalah keputusan tergila yang pernah kubuat.
***

Pertanyaan seputar bagaimana perasaanku setelah akhirnya resmi menikah terus-menerus dilontarkan oleh rekan kerjaku. Aku cuma bisa tersenyum dan memberi jawaban pendek-pendek sambil mencari cara untuk menyingkir. Malang bagiku, UGD yang biasanya ramai luar biasa tiba-tiba saja sesunyi kamar jenazah malam ini. Seolah mereka semua berkomplot untuk menahanku agar tak ke mana-mana.

Saking groginya, pulpen di tanganku mencoret-coret sebuah rumus di atas kertas resep kosong. Saat sadar, aku terperenyak. Rupanya aku sedang melakukan formula perhitungan indeks massa tubuh alias IMT. Hasilnya? Tentu saja underweight. Istilah kerangka hidup pasti tidak datang tanpa alasan. Bukan berarti aku terima disebut seperti itu. Lagi pula, berat badanku hanya kurang tiga kilogram dari berat badan minimal.

Tunggu! Apa aku tadi menyebutkan ‘kerangka hidup’? Sampai detik ini, hanya Agam yang blak-blakan menyebutku demikian. Sial!

“Kapan berangkat bulan madunya, Dok?” goda seorang perawat senior yang sedang bersiap-siap untuk mengakhiri sif sorenya.

“Akhir pekan ini,” jawabku singkat.

Kak Linda memang sudah menyiapkan perjalanan bulan madu ke Bali untukku dan Agam. Dia dengan sukarela memesankan tiket bolak- balik dan reservasi hotel untuk kami. Dan aku terlalu pengecut untuk menolak perjalanan itu. Untungnya, dia mau mendengarkan aku untuk mempersiapkan perjalanan yang singkat saja. Tiga hari dua malam. Setelah proses tawar-menawar yang cukup melelahkan, akhirnya angka itulah yang kami setujui. Agam sendiri tak terlalu banyak ikut campur soal itu.

Tadinya, aku berangkat lebih cepat ke rumah sakit demi menghindari Agam dan keluargaku di rumah. Namun, setelah sampai aku jadi menyesal. Aku lupa memperkirakan bahwa datang lebih awal akan membuatku harus menjawab pertanyaan yang serupa berkali-kali. Satu dari tim jaga sore dan satu lagi dari tim jaga malam.

“Hai, An. Mau ngopi bareng?” Kedatangan Tami yang bertugas sebagai dokter jaga di ruang ICU, menyelamatkanku dari rentetan pertanyaan yang tak ada habisnya. Meski jarak ruangan kami cukup untuk membuat kaki pegal, kami sering saling mengunjungi jika jadwal piket kami bersamaan. Dan tentu saja jika kami punya waktu senggang. Se- perti saat ini.

“Tentu saja!” seruku agak kelewat senang saat melihat wajah bun- darnya. Aku bangkit dari kursi dan setengah berlari menghampirinya. “Thank you,” bisikku sungguh-sungguh.
Tami mencibir. Dia mengeluarkan tangan dari saku jas dokternya lalu melingkarkannya di lenganku. 

“Jadi, gimana rasanya jadi pengantin baru?” tanyanya saat kami meniti anak tangga menuju lantai dua. “Malam pertamanya lancar?”
Aku menoleh dan memberinya tatapan kesal. “Please, jangan kamu juga.”
Tami terkikik melihat reaksiku. “Iya aku paham kok, bagaimana perasaanmu. Masih kepingin sayang-sayangan, eh sudah harus kerja lagi.”

“Tami!”

“Apa?” Tami memberiku ekspresi polos paling palsu yang pernah kulihat. Dia lalu melenggang masuk lebih dulu ke ruang istirahat. Aku merebahkan diri ke atas bangku empuk tanpa lengan dan membiarkan Tami menyeduh kopi untuk kami berdua.

“Kamu yakin rencanamu akan berhasil?” tanya Tami setelah me- nyodorkan sebuah gelas kertas berisi seduhan kopi instan kepadaku.
Aku menghela napas panjang. “Kuharap begitu.” Aku menatap cairan hitam yang mengepulkan asap tipis itu dengan berbagai pikiran bergelayutan di kepala.

Tami duduk di sebelahku dan menyesap kopinya pelan-pelan. “Selama kamu yakin, aku pasti akan mendukung kamu. Tapi...,” katanya dengan nada menggantung. “Aku nggak bisa bilang kalau keputusan kamu kali ini adalah keputusan yang terbaik.”

“Aku tahu,” ujarku mengakui. “Pilihanku memang sinting. Tapi aku ingin menunjukkan pada Papa, kalau nggak semua yang dipilihkannya untukku adalah yang terbaik.”

“Lalu bagaimana dengan suamimu? Kamu nggak mempertimbangkan bagaimana perasaannya?”

“Dia nggak punya perasaan apa-apa terhadapku,” jawabku cepat.

“Tapi yang kulihat saat akad sampai resepsi kemarin, ada sesuatu yang beda dari caranya menatap kamu.”

Aku memajukan bibir bawahku. Benarkah Agam menatapku dengan berbeda? “Berbeda... gimana maksudnya?” tanyaku penasaran.

“Hmm, gimana ya menjelaskannya? Pokoknya beda. Begini-begini aku cukup jago dalam menebak siapa suka dengan siapa, lho.”

Aku tergelak mendengarnya. “Kamu nggak lupa soal residen yang waktu itu, kan?” Mendadak aku teringat kejadian setahun lalu, saat dengan yakinnya Tami mengatakan pada Nuri, perawat cantik nan polos itu bahwa si dokter residen naksir kepadanya. Hal itu berujung pada kejadian katakan cinta yang cukup mengenaskan. Si residen ternyata sudah punya tunangan, dan si perawat berhari-hari tak masuk kerja akibat tak tahan menanggung malu.

“Itu... kesalahan. Lagian, aku nggak menyangka kalau Nuri bakal langsung mengkonfrontasi tanpa pikir panjang begitu,” kata Tami membela diri. “Tapi kali ini, aku yakin pada apa yang aku lihat.”

“Tapi kali ini, lagi-lagi kamu salah. Dia beneran nggak suka sama aku, kok.”

“Bagaimana kamu bisa yakin?”

“Dia yang bilang begitu, kok. Bahkan dia bilang bisa tinggal serumah dan melakukan ‘itu’ tanpa cinta. Yang ada di pikirannya pasti cuma hubungan fisik semata.”

“Itu normal lho. Seseorang yang sudah menikah wajar untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Yang nggak wajar itu kamu.”

“Tepat sekali. Karena itulah, dia pasti nggak akan tahan hidup bareng aku. Dia nggak punya alasan untuk tetap tinggal.”

Tami menggeleng-geleng pasrah akan kebulatan tekadku. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

“Mendaftar, tentu saja. Papa sudah janji akan memberi izin dan membantu biaya kuliah setelah aku menikah. Kalau aku berhasil lulus seleksi masuknya, tentu saja.”

Ya, itu memang perjanjian kami. Papa berjanji akan berhenti me- nuntutku untuk melanjutkan pendidikan spesialis kandungan dan kebidanan jika aku bersedia menikah dengan seseorang yang dipilihkan olehnya. Dua kali gagal mendapat beasiswa penuh membuatku menyerah pada tawaran itu. Aku harus menikah supaya bisa mendapatkan sokongan dana untuk melanjutkan ke pendidikan spesialis bedah jantung. Papa memang memberiku sebuah kebebasan untuk melakukan hal yang kuinginkan, tapi dia juga menyertainya dengan sebuah penjara yang lain. Dan sekarang aku harus berjuang untuk melawannya, dengan caraku sendiri.

“Agam tahu soal rencanamu lanjut kuliah?” Aku menggeleng.

“Kalau dia tidak mengizinkan, bagaimana?”

“Itu lebih baik.” Kalau dia tak mengizinkanku, akan ada alasan jelas untuk bertengkar dan berpisah.

“Aku masih penasaran soal satu hal. Apa benar kamu nggak punya rasa sama sekali padanya?”

Untuk beberapa saat aku terdiam. Kemudian aku menggeleng.

“Seandainya. Seandainya nih ya. Papa kamu menjodohkan kamu dengan laki-laki lain yang..., misalnya saja tua, jelek, bau ketek, kamu masih bersedia?”

“Kok, pertanyaannya gitu sih?” tanyaku lirih.

“Aku cuma mau kamu berpikir lagi dan jujur sama dirimu sendiri. Kamu boleh bilang aku sok tahu atau apalah. Tapi menurutku, saat kamu memutuskan untuk menerimanya ada sebersit harapan yang kamu miliki. Harapan kalau mungkin saja kalian bisa bahagia.”
“Konyol.”
“Nggak sama sekali. Kurasa itu cukup realistis, kok. Bayangkan, kalau kamu memang bisa bahagia dengan pernikahan ini dan bisa melanjutkan kuliah sesuai keinginan kamu. Bukankah ini double win nama- nya? Kamu nggak pernah berpikir begitu?”

“Kalau aku bilang iya, maka aku akan kedengaran egois.”

“Kalau semuanya bisa bahagia dengan itu, kurasa bukan egois na- manya.”

“Sudah, ah. Nggak usah ngomongin itu,” pintaku. “Kamu sendiri bagaimana? Kita akan daftar sama-sama, kan?”

Kali ini giliran Tami yang menghela napas panjang. “Robi kepingin punya anak,” desahnya.
Sebelum jawaban itu meluncur dari mulut Tami, aku sudah menebaknya jauh-jauh hari. Itulah yang selama ini membuatku enggan menikah sebelum meraih gelar spesialis. Akan ada terlalu banyak masalah yang datang menghalang. Namun, situasiku sekarang sudah lain. Kalau diibaratkan, sebelah kakiku sudah tercebur ke dalam sungai. Aku masih bisa menariknya keluar sebelum banyak masalah muncul dan membelitku lebih dalam. “Jadi, kamu akan menyerah demi hamil?”

“Bukan menyerah, tapi menunda.”

“Saat ini kamu bisa bilang demikian. Tapi setelah melahirkan nanti, seribu alasan lain akan muncul. 

Dan ketika kamu memutuskan untuk memulai kembali, kamu baru sadar kalau kamu sudah terlalu tua buat kuliah lagi,” kataku dengan menggebu-gebu. “Mumpung kita masih muda, Tam. Gunakan otak kita seoptimal mungkin.”

Tami cemberut. “Umurku sudah hampir tiga puluh,” katanya meng- ingatkanku. Meski satu kelas, dia memang tiga tahun lebih tua. Kesa- lahpahaman kecil saat masa awal perkuliahan dulu membuatku telanjur nyaman memanggilnya tanpa embel-embel ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Dia sendiri lebih suka seperti itu. Dia bilang, dia jadi merasa lebih muda saat aku memanggilnya dengan nama saja.

“Andai aku lanjut dan lulus tepat waktu, bayangkan aku akan hamil di umur berapa. Setidaknya umur tiga lima.”

“Umur tiga lima kan masih usia reproduksi sehat,” kilahku.

“Memang. Tapi nanti saat anakku masih balita, aku sudah menjelang kepala empat. Sudah mulai sering sakit punggung dan lain sebagainya. Aku nggak akan bisa main sama anakku,” kata Tami.
Aku masih punya berbagai opini mengenai kekhawatiran Tami itu. Namun, melihat wajah sedihnya, aku memutuskan untuk tak memperpanjang perdebatan. Beberapa menit kemudian, deringan di saku jas membuatnya kembali sadar. “Aku harus kembali ke ruangan,” katanya memperlihatkan layar ponselnya kepadaku sebelum menerima panggil- an masuk itu.

Selepas panggilan singkat itu, Tami menghabiskan kopinya. “Aku lebih rela jadi dokter umum seumur hidup daripada harus kehilangan waktu bersama anak-anakku kelak,” lanjutnya penuh kemantapan. Aku tak pernah mendengarnya lebih yakin dari saat ini.
Tami meremas gelas kertas bekas kopi dan melemparnya ke tong sampah. Dengan kedua tangan, dia lalu menggenggam tanganku yang bebas. “Kamu lebih muda daripada aku. Jadi, jangan pikirkan ocehanku barusan, ya!”


Aku tersenyum kecil. Yah, biarlah kami berperang dengan kekhawatiran kami masing-masing.
***



Seru kan?! Kalau saya sih pengen buru-buru baca semua novelnya sampai tuntas. biar gak nanggung kayak gini. Gimana ya nasib Bang Agam sama dokter Lian selanjutnya! yuk ah jangan lupa ikutan pre-ordernya ya. 

Exclusive first Chapter ada juga loh di blog teman-teman kece yang lain.


Akan diadakan selama 8  hari dengan jadwal sebagai berikut

26 SEPTEMBER 2018: Thessalivia Reza

27 SEPTEMBER 2018: Ika Mayang Sari
URL Blog : http://dumziebooks.blogspot.com/

28  SEPTEMBER 2018: Fabiola Izdihar
URL Blog: readingvibes.blogspot.com

29 SEPTEMBER 2018: Pida Alandrian
URL Blog : https://collection-of-book.blogspot.com/ 

30 SEPTEMBER 2018: Sintiya lastari Deva R
Url Blog: https://aoiperiwinkle.wordpress.com/

1 OKTOBER 2018: Ratna Komalasari
URL Blog: www.blueshood.wordpress.com

2 OKTOBER 2018: Ilmi Fadillah
Url Blog: http://ilmifadillah.blogspot.com [KAMU LAGI DI SINI]

3 OKTOBER 2018: Ahmad Azwar Avisin
Url Blog: https://blognyaazwar.blogspot.com/