Jumat, 19 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 12: Kepulangan

 

Fenomena Gerhana Matahari total sangat jarang terjadi. Terakhir, terjadi 21 tahun sebelumnya. Antara takjub akan kuasa Allah dan takut apakah Allah masih memberikan kita kesempatan untuk hidup. Ya, kalau Allah berkehendak dunia bisa hancur saat itu juga. 


Pada hari itu disunahkan untuk salat, zikir, dan sedekah. Aku sudah berniat salat ke masjid. Namun, kabar duka hadir di tengah kami. Suami Wak Iyam yang sudah lama terkena stroke, meninggalkan kami untuk selamanya.


Kami pun bertolak ke Sumedang dengan kendaraan roda empat agar kami semua bisa ikut. Jalanan sungguh berbeda sari biasanya. Matahari yang harusnya menyinari bumi, terhalang oleh rembulan dengan sempurna menjadikan langit lebih gelap dari seharusnya.


Jalanan lenggang membuat perjalanan kami lancar tanpa hambatan. Hanya menempuh waktu dua jam saja. Kami masih sempat menyalatkan beliau. Sementara para pria ikut sampai menguburkan.


Wak Iyam begitu terlihat tegar. Ikhlas denahn segala ketentuan Sang Pemilik hidup. Namun, kami bermaksud membawa pulang Emak ke Bandung. Dengan dalih, Wak Iyam harus banyak istirahat. 


Kali ini Emak pun ikut apa saran kami. Kondisi Emak tidak se sehat dulu, tapi wajahnya begitu segar dan makin bersinar-bersinar. Aku sempat beberapa menginap di rumah Ibu. Kata Ibu, Emak hari itu mau mandi. Ibu pun memandikan Emak.


Di tengah kondisinya yang sudah uzur, tapi masih peduli dan memerhatikan aku--cucunya.

"Cu, sudah makan?"

"Iya, Mak."

"Nyi.." panggil Emak ke Ibu. "Suruh si teteh makan. Dari tadi belum terlihat makan."

"Sudah besar, Mak. Bisa ambil sendiri kalau sudah lapar."

"Kasian, takut lapar. Lagi nyusuin pula"


Dasar Emak. Cerewetnya masih sama saja. Emak juga ingin menggendong buyutnya--anakku yang masih bayi.


"Sini, simpan bayinya di pangkuan Emak."

Emak tampak senang tak terkira. Sayang, memori itu hanya direkam oleh netra dan otakku saja. Aku pun pulang seperti biasa. 


Hari Ahad, aku seharusnya berangkat untuk lomba menulis di daerah Pamengpeuk. Namun, suami tak mengizinkan. 


Hari itu, hati ini tak enak, tidak karuan. Entah kenapa. Padahal siang itu ramai pesan di grup kalau tulisanku terpilih jadi juara 3. Namun, telepon pamanku ke nomor ponsel suami membuatku tidak fokus. Apalagi saat ekspresi wajahmya berubah. Emak sesak lagi, dan Ibu dan anak-anak Emak hendak membawanya ke rumah sakit.


Tak lama, telepon berdering kembali. Raut wajah suamiku lebih kaget dari telepon pertama.


"Innalillahi wainna ilaihi roji'un"


Mendengar kabar pahit itu. Maunya aku berteriak. Meratap. Namun, Emak pastilah sedih bila aku seperti itu. 


"Mi, ini hadiah dan pialanya. Selamat ya!" ucap kakak iparku yang mewakiliku mengambil piala.


Aku mengambilnya dengan air mata bercucuran sembari sesenggukan. 


Kata Ibu, sengaja tak memberitahuku saat hendak membawa Emak ke rumah sakit. Itu mau Emak agar aku tak khawatir. Baju terakhir yang Emak kenakan adalah kain pemberian terakhir dariku yang dijahit Bapak. 


Begitu berat merangkai kata, menggali kembali duka masa itu. Tangan ini sampai kaku untuk menulis bagian ini. Hapus. Tulis. Hapus lagi. Bagaimana menuliskannya. Aku harus mulai dari mana. Aku bingung. Sungguh, bagian tersulit bagiku untuk mengenang kembali episode kehilangan ini. 

*selesai


#PanahKompilasi14

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah



Kamis, 18 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 11: Kepindahan

 


Hari itu, hasil pemeriksaan laboratorium keluar. Dokter yang menjelaskan langsung. Emak menderita penyakit yang lumayan berat. Dadanya sering sesak karena ada gangguan di paru-paru. Dadany juga sering terasa bergetar karena jantungnya bermasalah. Mungkin faktor usia juga memengaruhi.

Tentunya Emak sangat sedih. Pun kami sebagain anak dan cucu Emak. Namun, kami berusaha berhusnuzan. Berprasangka baik pada Allah Swt. Agar Emak pun tidak berkecil hati dan berputus asa pada hidupnya.

Operasi tidak bisa dilakukan, seperti dulu saat tulang pergelangan tangan Emak patah. Emak terlalu sepuh dan tekanan darahnya tinggi sehingga rawan sekali ditindak operasi. Emak berikhtiar ke dokter dan rumah sakit lain. Hasil pemeriksaan dan keterangan dokter berbeda. Aku tidak paham, yang jelas kali ini bisa membuat Emak lebih bersemangat hidup.

Emak pun berencana untuk titirah 'tinggal sementara di tempat lain'. Biasanya ke tempat yang lebih sepi, jauh dari keramaian kota. Jauh di pedesaan yang sejuk. Emak memilih tinggal bersama anak perempuan sulungnya di Sumedang.

Keluarga di Bandung sepakat untuk kesehatan Emak yang lebih baik. Sesekali kami berkunjung ke sana melihat kondisi Emak. Apalagi saat Idulfitri. Keluarga besar kami berkumpul di sana.

Berbeda dari biasanya, hari itu Emak meminta berfoto bersama. Biasanya susah sekali mengabadikan momen berharga seperti itu. Kami pun bergantian berfoto bersama Emak.

Wajah Emak sangat bersih, putih, dan memancarkan sinar. Tampak terekam. Jelas dalam hasil jepretan kamera salah satu ponsel kami.

"Mak, pulang ke Bandung yuk!" ajak kami.
Sayang sekali Emak menolak. Katanya, enak di kampung. Tiis ceuli herang panon.

Di sana pun Emak sempat beberapa kali ke dokter dengan keluhan yang sama. Tadinya, kami khawatir pada Wak Iyam, yang mengurus Emak di sana. Selain mengurus Emak, suaminya juga sakit stroke tidak bisa apa-apa. Namun, kami pun tidak memaksa kehendak Emak. Syukurnya, ada anak dan cucu Wak Iyam yang membantu mengurus dua orang pasien itu.

Mungkin Emak masih betah, nanti kalau sudah bosan, pasti nanti minta dijemput. Apalagi Emak meninggalkan Uwak, anaknya yang lumpuh tak bisa apa-apa, yang tinggal bersama kami, di rumah ibu.

*bersambung ke bagian 12 insya Allah
#PanahKompilasi13
#komunitasliterasi
#komunitasliterasipemudipersis
#penamuslimah
#panahkompilasi
#pemudiroadtomuktamar
#kolektifkolaboratif
#pemudicerdasberakhlakulkarimah


Rabu, 17 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 10: Rumah Sakit

 


Aku masih di kampus. Ada kegiatan himpunan yang rutin aku ikuti di pusat kegiatan kampus (PKM). Padahal matahari sudah terbenam di sebelah Barat. Langit menggelap, lampu gedung-gedung dihidupkan menambah indah Kota Bandung. Keramaian lampu-lampu tak mengurangi pikiranku yang kalut. Permasalahan pribadi, tugas kampus, dan himpunan berkeliaran di otakku.

Ponselku bergetar, memang seringkali mode hening aku hidupkan saat kuliah. Hanya getaran beberapa kali, tanda short massage service (SMS) masuk ponsel merah Nokia-ku

Aku eja isi pesan itu, untuk memastikan pesan tak enak itu benar-benar mendarat di ponselku.
"Emak masuk rumah sakit, pulang!"
Pesan dari Ibu mengguncangku. Tadi pagi saat berangkat kuliah Emak tidak  apa-apa.

"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit Hasan Sadikin."

Kebetulan letak rumah sakit itu dekat dengan kampusku. Aku hanya tinggal satu kali naik angkot.

"Aku langsung ke rumah sakit. Ruang mana nomor berapa?"

Setelah nama ruangan kupegang, aku langsung meluncur ke tempat Emak. Kabarnya, Emak sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat karena teras sesak di dadanya. Emak perlu perawatan serius harus dirawat inap. Beruntung, tak lama Emak langsung dapat kamar.

Aku memang terbiasa bolak-balik ke rumah sakit untuk menunggui pasien. Belum lama ini Ibu dirawat karena operasi pemasangan gips di kakinya. Jadi, aku tak butuh waktu lama untuk menemukan ruangan Emak.

"Bapak pulang saja, biar aku di sini nungguin Emak."
Bapak mengiakan, lalu pulang untuk istirahat.

Emak terlihat senang karena aku menemaninya di ruangan. Dulu penjagaan keamanan belum ketat. Di ruangan itu ada beberapa ranjang kosong. Aku tidur di ranjang pasien yang kosong di pinggir ranjang Emak.
Besok pemeriksaan laboratorium untuk Emak, agar ketahuan penyakit apa yang Emak derita. Esok pagi pun aku harus pulang dulu untuk mandi dan ganti baju karena ada jadwal kuliah.

*bersambung ke bagian 11 insyaallah

#PanahKompasi12
panahkompilasi10
#komunitasliterasi
#komunitasliterasipemudipersis
#penamuslimah
#panahkompilasi
#pemudiroadtomuktamar
#kolektifkolaboratif
#pemudicerdasberakhlakulkarimah

Selasa, 16 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 9: Tentang Makanan


Emak yang berasal dari daerah, senang sekali mengolah makanan tradisional. Walau sudah lama tinggal di Bandung, Emak masih melestarikan budaya tersebut. Aku suka membantu Emak, mencicipinya meski masih mentah.


Dulu beragam makanan yang sering Emak olah. Di antaranya, makanan asin seperti rengginang, kicimpring, dan ulen atau makanan manis seperti sasagon atau dodol kacang merah. Emak juga suka membuat, nasi tutug oncom, oyek (makanan olahan dari singkong yang direndam), urap singkong, urap talas bogor.


Seharusnya, budaya mengolah makanan tradisional dipertahankan dari generasi ke generasi. Namun, kekinian orang-orang semakin dimanjakan dengan hal yang serba instan. Tinggal beli, tak perlu repot mengolah. 


Namun, ada yang Ibu lestarikan sampai sekarang, yaitu membuat ulen. Makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan. Beras ketan putih atau hitam. Beras ketan hitam agak susah dicari, jadi seringnya menggunakan beras ketan putih.


Saat takbir tak henti digaungkan, ketupat, opor ayam, tumis kentang dan cabai tak lengkap tanpa ulen menemani. Setiap saudara, tetangga dekat dan jauh berkumpul hanya mencari satu makanan itu: Ulen. 


Selain makanan tradisional, Emak pun senang mengolah makanan lain untuk camilan. Telur gabus asin dan manis, sumpia asin dan manis, kue seroja asin. Emak senang sekali mencetak makanan itu dengan yang ukuran besar-besar. Katanya, agar cepat selesai, saat dimakan pun cepat kenyang.


Walaupun suka mengolah makanan tradisional, Emak pun ternyata suka camilan modern. Pastinya, aku yang mengenalkannya. Kalau aku punya uang lebih, aku belikan Emak coklat silverqueen atau es krim. Kalau Emak sedang marah, kecewa, atau perasaan tak enak lainnya padaku Emak akan berubah baik lagi. Aku kangen Emak. 


*bersambung ke bagian 10 insyaallah


#panahkompilasi11

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah


Minggu, 14 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 8: Ikhtiar Sehat

 


Emak mengerang kesakitan. Tangannya bengkak. Beruntunglah, rumah Wak Dede pun berhasil ditemukan. Emak istirahat di rumah itu. Tukang pijat datang untuk mengobati Emak. Katanya, Emak baik-baik saja.


Aku, Ibu, dan Bapak, serta adik-adik pun pulang. Sementara Emak menginap beberapa hari di rumah Wak Dede. Aku pamit masih dengan penuh rasa bersalah. Emak berusaha menghiburku, "Pulang saja, Emak tak apa-apa." Ekspresinya menahan nyeri. Aku tahu Emak pasti sangat kesakitan. 


Tidak sampai seminggu Emak pun dijemput pulang, untuk diperiksa kembali ke dokter. Hasil rontgent menunjukkan tulang pergelangan tangan Emak patah. Entah, karena terlambat atau Emak terlalu berisiko kalau dioperasi.


Emak pun memilih pengobatan tradisional. Aku yang sering mengantar Emak berobat. Naik dan turun angkot untuk ikhtiar agar Emak sehat kembali. Berbulan-bulan masih tak ada perubahan yang signifikan. Emak pun memutuskan untuk berhenti dan mencari pengobatan alternatif lain. Apa pun kata orang, Emak coba. Asal masih masuk akal dan tidak bertentangan dengan syariat. 


Aku benar-benar tak paham. Berobat ke rumah sakit besar pun, Emak hanya disuruh terapi saja. Di tengah keterbatasan Emak. Emak masih saja ingin melakukan pekerjaan rumah. Katanya, pegel kalau diam saja. Sesekali Emak cuci piring satu atau dua bekas makannya. 


"Emak, gak usah..." larangku.

"Gak papa, cuman satu."


Siapa yang tak tega melihat Emak. Mencuci piring dengan satu tangan kirinya. Saat digosok, piringnya muter. Namun, begitulah orang tua. Tidak mau selalu merepotkan anak dan cucunya.


Akhirnya, Emak pun pasrah tak lagi mengobati tangannya itu. Meski sakit selalu tiba-tiba datang. Emak hanya mengompresnya dengan air hangat setiap dini hari sebelum salat malam. Tidak menyembuhkan, tapi setidaknya mengurangi rasa sakitnya. Sejak kecelakaan itu, jemari Emak memang kaku tak bisa digerakkan, seperti mati rasa. Jangankan mengepal, menggerakkan telunjuk ke ibu jari saja tidak sampai. 


Semoga rasa sakit yang kau rasakan bertahun-tahun menjadi penggugur dosa yang mengantar ke surga. Kami sayang Emak. 


*bersambung ke bagian 9 insya Allah

#panahkompilasi10

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah

Sabtu, 13 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 7: Emak Jatuh


 

Setelah ditinggal Bapak Aji, Emak memilih hidup sendiri. Katanya, tak akan ada yang baiknya seperti Bapak Aji. Seiring berjalannya waktu, unggas-unggas Emak pun habis. Begitu juga kontrakan, habis karena dibagikan pada anak-anak Emak.


Dari dulu, Emak tinggal bersama Ibu. Anak Emak yang kelima yang masih ada. Makanya, Emak sudah seperti ibuku yang kedua. Bahkan, aku lebih mengutamakan Emak daripada ibu dalam beberapa hal. Pikirku, Emak sudah uzur. Aku takut tidak bisa menemani Emak sampai akhir hayatnya. Selagi ada aku ingin berbuat baik pada ibu dari ibuku itu.


Aku selalu ikut kalau Emak dan Ibu mengaji. Entah dulu bagaimana mengatur sekolah dan jadwal mengaji mereka. Setelah Subuh, kami bersiap untuk pergi mencari ilmu akhirat. Waktu itu aku masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah. Setiap harinya ada saja dari masjid satu ke masjid yang lain. Seperti haus akan ilmu agama.


Dari masjid terdekat, Uswatun Hasanah, Al-Islam, Al-Amin, As-Syahadah, Gedong Muslimin, Al-Ittihad, dan Al-Islamiyah. Maaf jika aku salah menyebutkan nama masjid tersebut. Aku pun ingat-ingat lupa. 


Emak pun selalu membawaku ke kondangan. Emak juga minta kuantar kalau pergi ke dokter dekat rumah. Aku selalu menuntun Emak walau terkadang aku merasa kewalahan dengan bobotnya. Bayangkan sekali aku yang berbadan mungil, menuntun orang dewasa. Namun, Emak begitu percaya kepadaku. 


Aku pun teringat saat kami hendak berkunjung ke rumah Wak Dede (anak Emak yang keempat) di daerah Cileunyi. Saat itu kami naik bus Damri. Turun dari bus, Bapak sibuk mencari alamat. Bertanya-tanya pada orang-orang yang kami lewati. Sementara Ibu, repot dengan adik-adikku, mengais dan menuntun mereka. Aku dan Emak ada di barisan paling belakang. Aku menuntun Emak, membuntuti Bapak dan Ibu yang ada di depan.


Kami melewati sebuah gunungan pasir. Bapak menaikinya, aku dan Emak pun mengikutinya di belakang. Gunungan pasir itu licin, Emak pun terpeleset lalu jatuh. Badanku yang mungil tak bisa menahan bobot Emak, malah ikutan jatuh menimpa Emak. Aku terperanjat, langsung bangun, kulihat Emak sudah kesakitan. Tangan kanannya sakit dan tidak bisa digerakkan.


*bersambung ke bagian 8 insya Allah

#panahkompilasi9

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah



Artikel: Produktif dari Rumah

 


Sebagai perempuan yang sudah berumah tangga dan punya anak, seringkali keteteran dengan tugas dan kewajibannya di rumah. Pekerjaan rumah seakan tidak pernah ada habisnya. 


Jangankan untuk  beraktivitas di luar, tidak ada waktu dan susah untuk bergerak. Apalagi perijinan susah sekali didapatkan dari suami. Semakin ciutlah untuk bisa bergerak dan bermanfaat untuk orang lain yang lebih luas lagi. Padahal, 



خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ


Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR Ahmad). 


Kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yuk! 



Bergerak bukan hanya berpindah tempat, mulai melakukan sesuatu, berusaha giat pun berarti bergerak. 


Selanjutnya, kita cari arti kata produktif. 



Produktif bukan hanya mampu menghasilkan dalam jumlah besar, bisa mendatangkan atau memberi manfaat saja untuk orang lain itu juga produktif. 


Kalau kita mau, banyak lho profesi yang berhubungan dengan kepenulisan (hanya bermodal peka saja) yang bisa tekuni dari rumah.  Apalagi sebagai muslimah kita takut untuk berikhtilat dengan yang bukan mahrom.


1. Penulis Buku

Kita bisa meluangkan waktu di jeda rutinitas kita sebagai istri dan seorang ibu dengan menulis. Apa yang bisa kita tulis? Banyak, bisa fiksi seperti novel atau buku-buku nonfiksi, seperti parenting atau buku-buku motivasi. 


Sekarang kita dimudahkan oleh merambahnya penerbitan indi. Kita bisa mencetak dan mempromosikan buku kita sendiri dengan mudah. 


2. Content Writer

Kita bisa menulis konten untuk pribadi atau untuk akun orang lain. 


3. Copy Writer

Kalau yang senang menulis iklan, profesi ini cocok banget nih untuk, sahabat muslimah.


4. Editor

Siapa nih, di antara kalian yang jeli melihat kesalahan tulisan. Sepertinya profesi ini cocok buat kalian. 


Keempat profesi tersebut bisa dilakukan paruh waktu ya alias freelance. Silakan dipelajari dan cari informasi lagi sebanyak-banyaknya.


Sebagai catatan, jika muslimah itu bekerja, selain kewajibannya di rumah hanya untuk aktualisasi diri karena mencari nafkah adalah kewajiban suami. Kalau nyatanya, dari profesi sambilan yang kita tekuni menghasilkan manfaat lebih berupa materi atau benefit yang lain, itu merupakan bonus yang patut disyukuri. Ayo bergerak dan produktif dari rumah! 


#panahkompilasi8

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah





Kamis, 11 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 6: Mengenal Bapak Aji

 

Aku tak sempat melihat Bapak Aji, yang aku ingat Emak memang sudah sendiri. Katanya, Bapak Aji tutup usia sekitar tahun 1992, saat itu aku baru berusia dua tahun. Wajar memoriku belum mampu mengingat apa pun. Namun, sosok Bapak Aji selalu ada di hati Emak. Aku bisa mengenalnya lebih dekat dari cerita-cerita Emak.


Bapak Aji memang orang yang sabar dan setia. Terbukti dari penantiannya di awal pernikahan yang rela menunggu kesiapan Emak. Beliau juga sangat sabar menghadapi Emak yang bawel dan cerewet. Maklum kebanyakan istri memang seperti itu. Emak saksinya, Bapak Aji tak pernah marah pada Emak atau anak-anaknya. 


Hanya pernah satu kali saja berbicara dengan nada tinggi. Saat Emak ngeyel, terus mengoceh. 

"Gelo kitu sugan jelema teh," tegas Bapak Aji. 

Seusai itu Emak tak pernah berani menantang Bapak Aji lagi. Kapok. 


Setia dengan satu pasangan walau sempat LDR atau LDM cukup lama dengan Emak. Bapak Aji juga sangat mengutamakan pendidikan. Terbukti semua anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan bersekolah di pesantren. Melihat anak-anaknya pergi sekolah setiap hari cukup bagi Bapak Aji. Tak pernah ia melihat hasil rapor mereka. Mungkin, proseslah yang paling penting dari segalanya menurutnya. 


Anak-anak rajin beribadah tanpa disuruh serta berakhlak baik sudah lebih cukup. Kata ibu, Bapak ataupun Emak tak pernah memeriksa buku atau rapos hasil belajar. Bahkan, ibu dulu sering memanipulasi tanda tangan orang tua di rapornya.


Bapak Aji juga seorang aktivis masjid. Salah satu pendiri masjid di lingkungan tempat tinggalnya. Bapak Aji terkenal dengan pribadinya yang tenang dan sabar. Sering dalam berjuang mereka berselisih pendapat, Bapak Aji tak pernah melawan, hanya mengalah dan mengalah. Begitu kesaksian anak-anak lelaki Bapak Aji yang selalau ikut ke masjid. 


Tenang dan tidak grasak-grusuk juga sudah melekat di mana pun Bapak Aji berada. Di tempat kerja Bapak Aji pun begitu. Ia bekerja menjajakan rongsokan di kaki lima. Suatu hari satpol PP datang untuk merazia para pedagang kaki lima. Pedagang lain kalang kabut, membereskan dagangannya dan langsung kabur. Sementara Bapak Aji masih saja tenang. Membereskan satu per satu barang dagangannya. Petugas menggebrak pun Bapak Aji tetap tenang. 


"Takut itu sama Allah, untuk apa takut pada sesama manusia."


Terbukti Bapak Aji selamat dari petugas dan pulang selamat. 


Ada satu lagi prinsip Bapak yang agak nyeleneh, tapi kalau dipikir-pikir lagi memang begitu seharusnya. 


Bapak tak pernah mengucap, punten 'permisi' pada orang-orang yang duduk di pinggir jalan. Kata Bapak, harusnya mereka yang bilang punten karena sudah menghalangi jalanan. Bapak Aji tampak tidak suka pada orang-orang yang suka nongkrong itu. Memang kebanyakan yang mereka lakukan tak berfaedah. Bermain gitar, gaple, bahkan kadang minun-minum (minuman keras). Astaghfirullah.. 


Kami memang belum sempat bertemu denganmu, Bapak Aji. Semoga kita bisa berkumpul di surga-Nya. Amin. 


#panahkompilasi7

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah




Rabu, 10 Agustus 2022

Cerita Selingan: 2 Jam Terkunci di Atap Rumah

 


Niatnya hari ini aku akan melanjutkan serial cerita emak. Namun, kejadian kemarin tak bisa aku lewatkan begitu saja.

Aku pulang dari rumah mama pagi-pagi saat anak-anak berangkat sekolah. Aku siapkan baju si kecil dan sarapan. Setelah itu aku pun naik ke tangga untuk mengambil pakaian yang sudah lama kering di atas. Sekalian aku mau menjemur pakaian lain yang sudah beres dicuci. Aku pun membawa pakaian basah itu ke atas.

Atas saranku, suami pun bolak-balik tangga untuk menyimpan galon-galon bekas yang ceritanya akan ditanami macam-macam tanaman.

Pakaian di jemuran sudah kering dan sebagian ada yang jatuh oleh angin. Wajar sudah hampir seminggu pakaian-pakaian itu tidak terjamah olehku. Aku kembali menjemur pakaian yang sudah dia keranjang itu. Alhamdulillah selesai.

Saat aku hendak turun membawa pakaian yang kering, aku curiga. Kenapa pintunya tertutup rapat. Aku tak enak hati. Benar saja pintunya terkunci. Aku gedor-gedor. Percuma. Tak ada orang di rumah. Suamiku sudah pergi ke bengkelnya.

Di situ aku berusaha husnuzan. Oh, mungkin suamiku lupa mengunci pintu. Walau pikiran negatif muncul di benakku. Dia sengaja mengunci pintu. Tega sekali.

Aku masih berusaha tenang, dan berkali-kali beristigfar. Ini kali kedua aku terkunci di tempat ini. Pertama, karena anak sulungku yang marah padaku karena tidak mau disuruh ini itu. Dia kesal dan sengaja mengunci pintu. Katanya sih lupa, tidak dibuka lagi dan dengan santainya main ke luar rumah dengan teman-temannya.

Untungnya hari itu aku bawa ponselku. Aku menelepon suamiku, lalu bantuan pun datang. Sementara hari ini aku tak bawa apa-apa. Ponsel tertinggal di bawah.

Sambil menunggu aku melipat-lipat pakaian sekeranjang penuh itu sampai selesai. Belum ada tanda-tanda ada manusia yang datang.

Sebenarnya, aku terhubung dengan tetangga di sebelah yang  asih saudara. Tinggal melangkah saja, sudah bisa masuk ke rumah itu. Namun, percuma jam segitu tak ada orang di sana.

Aku mencoba memejam mata, tidur di lenganku sambil terduduk. Aku dengar suara Uwak yang biasa mengurus sawah di bawah. Aku akan teriak minta tolong, "Wak, tolong bukakan pintu tangga!" tapi saat kulihat tidak jelas. Aku takut saat kupanggil justru orang lain.

Kuurungkan niatku. Kembali ke saung dan merenung. Sebegitu menjengkelkan kah diriku sampai-sampai dikunci berjam-jam di sini. Aku masih bisa menahan air mata.

Biasanya suami bolak-balik rumah, tapi ini tidak ada. Si bungsu pun sepertinya anteng di rumah neneknya. Biasanya seperti setrikaan, ke sana kemari.

"Neng! Neng!" terdengar sahutan di bawah.
Aku tak menjawab. Langsung menuju pintu itu dan menggedor-gedor. Dugdugdug.

Pintu pun terbuka. Di atas sana sudah membayangkan seperti di drama-drama televisi atau di buku-buku fiksi. Apakah aku akan memeluk yang sudah menyelamatkanku dan menangis di bahunya. Ternyata itu hanya fiksi belaka. Berbeda dengan realita yang ada. Yang ada hanya kesal saja.

"Dari tadi di sini?" uacapnya datar.
Aku pun membawa keranjang berisi pakaian yang sudah rapi. Lelaki mungkin makhluk yang benar-benar tidak peka. Sudah tadi bawa keranjang pakaian basah sendiri, dikunci di atas, bawain kek keranjangnya. Di situ pecahlah tangis. Sedih campur kesal, dan kecewa.

Di atas tadi sudah pengen pipis, sakit perut. Untung masih bisa di tahan. Anginnya besar, lagi kurang sehat dan batuk-batuk. Turun tangga langsung menuju kamar mandi. Sekalian siap-siap ada kegiatan pengajian rutin di jamaah. Pastinya sudah terlambat.

"Hampura, aslina teu sadar aya neng di sana. 'Minta maaf, aslinya tidak sadar ada neng' "

Katanya kebiasaan kalau sudah dari atas refleks mengunci pintu.

Aku tidak meresponsnya. Masih marah.

Sorenya, ia bilang lagi, "Aku terus terngiang-ngiang merasa berdosa, beneran gak sengaja mengunci pintu."

***Selesai
#panahkompilasi6
#komunitasliterasi
#komunitasliterasipemudipersis
#penamuslimah
#panahkompilasi
#pemudiroadtomuktamar
#kolektifkolaboratif
#pemudicerdasberakhlakulkarimah

Selasa, 09 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 5: Bu Soang

 



Sebuah dongeng pasti menggambarkan zamannya. Emak pun senang memelihara unggas di rumahnya. Ada berbagai macam unggas, di antaranya ayam, bebek, entok, soang (angsa), dan ada juga tongki. Tongki itu unggas yang sangat unik badannya besar melebihi unggas lain, hasil persilangan antara entok jangan dan bebek betina.

Saking banyak ternaknya, Emak sampai dijuluki, "Bu Soang". Saya ingat saat masih di bangku sekolah dasar (SD). Biasa disuruh Emak beli ketupat sayur. Menurutku itu ketupat sayur terenak yang pernah rasakan seumur hidup. Mungkin berlebihan, tapi memang begitu adanya.

Pedangangnya sebaya dengan Emak, mungkin temannya. Saat berbincang dengan si ibu, ternyata ia mengenali Emak. "Oh, cucunya Bu Soang ya?! " Aku pun mengangguk walau sebenarnya merasa bingung.

Di rumah pun aku langsung konfirmasi kenapa Emak dipanggil Bu Soang. Katanya memang karena uang gasnya banyak salah satunya, angsa. Banyak orang-orang mencari dan ingin membeli unggas-unggas Emak. Bahkan, orang-orang yang tinggal jauh dari rumah Emak. Seperti pedagang ketupat ini, rumahnya jauh harus menyebrang jalanan. Namun, dulu berlangganan beli unggas ke tempat Emak.

Di zaman dulu memang sudah mengenal sistem pembagian tugas. Suami bekerja di luar mencari nafkah. Istri di rumah, tapi masih tetap produktif dengan membuka warung kecil, atau beternak unggas. Istri pun bisa membantu ekonomi keluarga tanpa keluar dari fitrahnya sebagai perempuan.

Apalagi menengok zaman lebih dahulu lagi di desa-desa. Yang kebanyakan mata pencahariannya adalah pertanian. Tidak dimungkiri terjadi sampai hari ini. Setiap pagi, suami pergi ke sawah atau ladang. Istri di rumah mengurus anak dan menyiapkan santapan makan siang.

Istri menapi  'memilah beras yang akan dimasak' dan memisahkan benyer dan gabah. Para unggas sudah menanti bagiannya di depannya. Menyantap makanan dari tuannya.

Setelah makanan siap, sang istri mengantarnya ke sawah untuk suaminya. Sepulang itu istri kembali mengurus ternak-ternaknya. Memasukkan ke kandang setelah ternak-ternaknya mencari makan sendiri. Dahulu si unggas dibiarkan mencari makan sendiri. Masih banyak ladang makanan untuk para unggas yang gratis. Misal, di sawah-sawah yang sudah dipanen atau di kebun orang.

Tidak seperti sekarang, para unggas disimpan di kandang diberi pakan instan dari pabrik. Padahal unggas kampung lebih sehat dan rasanya jauh lebih enak.

Kadang, unggas itu disembelih sebagai santapan keluarga atau ada tetangga yang butuh. Bisa sistem barter atau dibayar dengan uang. Tanpa disadari seorang istri pun sudah membantu perekonomian keluarga dengan caranya yang sederhana. Tidak usah menuntut emansipasi, ingin berkarir di luar dan melupakan tugas utamanya.

Perempuan boleh saja bekerja, tapi atas rida dari suaminya. Hanya sebagai aktualisasi diri, bukan mencari nafkah yang bukan kewajibannya. Wallahu a'laam.

#panahkompilasi5
#komunitasliterasi
#komunitasliterasipemudipersis
#penamuslimah
#panahkompilasi
#pemudiroadtomuktamar
#kolektifkolaboratif
#pemudicerdasberakhlakulkarimah

Cerita Emak Bagian 4: Lalamunan

 


Sebagian besar kandungan Al-Qur'an adalah berisi tentang kisah. Kisah para nabi atau kisah-kisah orang-orang terdahulu yang sarat akan hikmah. Hal itu menunjukkan bahwa metode kisah sangat menarik bagi manusia.


Emak senang sekali berkisah  tentang hidupnya atau sekadar mendongeng cerita-cerita rakyat yang hidup pada zamannya, yang tersebar dari mulut ke mulut ke berbagai daerah dan turun temurun dari generasi ke generasi sampai sekarang. Menjadi pelajaran dan pandangan hidup masyarakat yang menyimpannya. 


Suatu hari, Emak bercerita seperti biasa. Aku selalu antusias kalau Emak sudah memulai dongengnya. Sebenarnya, Emak berkisah dengan bahasa Sunda, tapi aku coba ceritakan kembali dengan bahasa Indonesia agar lebih dimengerti oleh yang lain. Bisa jadi orang-orang sudah tahu dongeng ini. Sama persis atau berbeda versi. Baiklah, kita mulai saja.


Seorang perempuan setengah baya tengah selonjoran di tengah rumah. Ia mengenakan kebaya dengan kain samping, memakai kerudung yang diselndangkan di kepalanya. Ia baru saja mengambil telur-telur ayam hasil dari kandangnya sendiri. Kurang lebih telur itu ada 20 biji.


Ia simpan dalam sebuah wadah (boboko) dan meletakkannya di atas kain sampingnya. Ia pun mulai melamun, berkhayal suatu hari nanti telur-telur itu menetas menjadi anak ayam. Kemudian menjadi ayam dewasa dan bertelur lagi dan lagi sampai menghasilkan telur yang sangat banyak. 


Telur yang banyak itu, ia bawa ke pasar lalu ia belikan dua ekor domba. Beruntunglah perempuan itu, domba itu tak lama beranak pinak menjadi domba-domba yang gemuk, subur dan banyak.


Ia kembali menjual hasil ternaknya ke pasar. Ia tukar dengan dua ekor sapi. Begitupun sapi itu, tak lama menghasilkan anak-anak sapi yang sehat. Tumbuh dan berkembang dengan baik lagi banyak.


Sapi-sapi itu pun dijual dan hasilnya dibelikan sebuah mobil. Ia sangat sebang karena bisa jalan-jalan dengan kendaraan bermotor beroda empat itu.


Saat tengah mengendalikan setirnya, tiba-tiba orang-orang bergerumul di depannya. Ia pun panik dan spontan menginjak rem dengan kuat.


Ia pun terperanjat lalu tersadar kembali ke realita yang ada. Dua puluh telur itu, sudah pecah berserakan, sebagian mengenai kain sampingnya. Penuh memenuhi ruang tengah itu. Tak ada yang bisa ia perbuat, selain bengong dan menyesali perbuatannya.


Berkhayal dan bermimpi itu boleh bahkan harus setinggi-tingginya. Namun, apa artinya mimpi tanpa realisasi. Hanya akan ada sesal di ujungnya.


*bersambung ke bagian 5 insya Allah


#panahkompilasi4

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah


Minggu, 07 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 3: Long Distance Married (LDM)

 


“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS Al-Mulk : 15).


Di mana pun kita berada, semua adalah bumi Allah. Bapak Aji percaya bahwa sebaik-baiknya perlindungan adalah perlindungan dari pencipta-Nya. Itulah yang membuat Bapak Aji tenang mencari nafkah jauh dari sang istri.


Hal itu pula yang membuat Emak menjadi pribadi yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan disenangi banyak orang. Apalagi saat ada di perantauan. Banyak tetangga yang sayang dan sudah menganggap Emak seperti saudara.


Setelah merdeka negeri ini pun tak luput dari kekacauan dan pemberontakan beberapa elit politiknya. Sampai suatu malam datang abdi negara menggerebek rumah sederhana Emak. Emak pun yang sedang mengelon anak-anaknya yang masih kecil terperanjat. Berjam-jam diintrogasi. Mereka mencari Bapak Aji, padahal beliau bukan bagian dari komplotan pemberontak itu.


Bapak Aji jelas difitnah. Syukurlah, beliau sedang tidak berada di rumah. Terbayang, suasana mencekam dalam rumah itu. Anak-anak menangis, Emak tegang dan ketakutan. Mereka pun akhirnya pulang dengan tangan kosong setelah lama membuat keluarga kecil itu terintimidasi.


Meski mereka sudah pergi, Emak belum tenang. Bagaimana Bapak Aji sekarang, "Semoga Allah senantiasa melindunginya," harapnya.


Hanya doa yang bisa terpanjat karena komunikasi terhambat. Dulu tidak seperti sekarang yang serba canggih. Emak hanya bisa pasrah sampai Bapak kembali ke rumah dengan selamat.


Bapak Aji pun tiba, menghampiri istri dan anak-anak. Beliau selamat karena tidak terbukti bersalah. Sementara ada beberapa teman Bapak yang tertangkap dan disiksa.


Beberapa peristiwa dilalui. Berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Akhirnya mereka berdua menetap di sebidang tanah di daerah Kota Bandung. Bapak Aji sudah punya pekerjaan yang tetap. Emak juga membuka warung sederhana di rumah. 


Anak-anak Emak semuanya ada sepuluh. Namun, yang tumbuh sampai dewasa hanya 6 orang. Empat orang meninggal saat mereka masih kecil. Anak-anak tumbuh dengan baik dan sekolah di pesantren.


Sesekali keluarga kecil itu pulang kampung. Mengunjungi orang tua di sana.


*bersambung ke bagian keempat insyaallah


#panahkompilasi3

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah


Sabtu, 06 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 2: Nikah Belia



Emak kecil yang baru lulus Sekolah Rakyat (SR), menjadi kembang desa di kampungnya. Kota segudang tahu dan tempat dikebumikannya salah satu pahlawan nasional, Cut Nyak Dien.


Banyak pemuda yang hendak melamar Emak. Sudah begitu adatnya. Susah sekali untuk melanjutkan sekolah, harus ke kota dan tak semua bisa memiliki kesempatan langka itu. Kalau tidak sekolah, apalagi selain menikah. Apalagi seorang perempuan. Istilah Sunda, "Pondok lengkah, ngan ukur ka sumur, ka dapur, ka kasur." 


Padahal adik lelaki emak, bisa bersekolah tinggi sampai jadi pegawai negeri sipil dengan jabatan yang tinggi.


Kembali lagi ke perjodohan Emak, Enek dan Pak Ulu yang jadi juri dari seleksinya. Hanya satu pesan Emak, "hayang nu jago adan '(Emak) mau calon suami yang pintar azan' ". Pinta yang sangat sederhana, tapi dalam maknanya. Maksudnya, Emak ingin suaminya nanti yang paham ajaran agamanya, Islam rahmatan lil 'alaamin. Bukan hanya menemaninya di dunia, tapi juga membimbingnya sampai ke surga.


Ada saja ketidakcocokkan dari Enek atau Pak Ulu.


"Jangan, dia terlalu tinggi!"

"Jangan dia pula, keluarganya terlalu kaya. Tidak sebanding dengan kita."

Dan banyak lagi ketidaksetujuan orang tua Emak pada bakal calon mantunya.


Sampai datang seorang pemuda yang gagah, seorang pedagang yang ulet dan jujur. Seakan semesta mendukung, "Inilah yang selama ini kita cari."


Pemuda itu tak pernah tertinggal. Salat berjamaah di masjid. Ya, dia juga pintar melafalkan panggilan Allah untuk salat. 

Tak lama, Emak pun dinikahinya. Selanjutnya, kami sebut Bapak Aji.


Usia Emak dan Bapak Aji terpaut jauh belasan tahun. Emak saat itu sekitar 12 tahun, belum mencapai aqil baligh. Emak belum siap berumah tangga. Mereka dipisahkan dulu. Bapak dengan sangat sabar menunggu Emak siap lahir dan batin.


Setiap malam Emak tidur di rumah orang tua angkatnya. Sampai suatu pagi, Bapak Aji datang menjemput Emak.


"Nak, sekarang kamu sudah menikah. Harus taat pada suamimu! nasihat Sang Ibu.


Emak pun mengangguk, tanda sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga bersama imam yang Allah pilihkan. Namun, tak lama dari situ mereka harus terpisah. Kata orang-orang sekarang, Long Distance Married (LDM) karena Bapak Aji harus mencari nafkah ke kota besar. 


Emak tinggal di Sumedang, sedangkan Bapak Aji ke Bandung. Saat Emak mengikuti Bapak ke Bandung, Bapak Aji malah ke Jakarta. Betapa berat beban Emak, yang masih belia perlu bimbingan harus jauh dari suami tercinta. Begitulah takdir Allah, tak selalu sesuai dengan apa yang manusia inginkan. Namun, yakinlah ini jalan terbaik dari-Nya.


*Bersambung ke bagian 3, Insyaallah. 

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah


Jumat, 05 Agustus 2022

Cerita Emak Bagian 1: Si Cengek


Aku tinggal bersama nenekku yang kami panggil Emak. Orang yang ramah, periang, selalu tersenyum, dan senang bercerita. Kalau sudah bercerita bisa berjam-jam tak henti-henti. Aku sangat menikmati cerita-ceritanya.

Emak lahir di sekitar tahun 1930. Hidup di zaman Belanda akhir sampai masuk Bangsa Nipon menjajah negeri. Dulu Emak kecil sering dibawa ke sebuah gua agar terhindar dari tembakan atau bom-bom yang diledakkan penjajah barat itu. Ayah Emak bukan orang sembarangan, beliau adalah salah satu tokoh masyarakat. Beliau biasa dipanggil Pak Ulu (mungkin dari kata penghulu). Maka, hidup Emak tidak  terlalu sengsara saat penjajahan. Keluarga mereka tidak memakai baju dari kain goni seperti yang lain yang harus gatal-gatal sekujur badan. Walaupun tidak banyak pakaian, tapi cukup layak dan lebih manusiawi. 

Tak berselang lama, Negeri Sakura datang membawa petakanya sendiri. Emak beruntung masih bisa sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Emak bersemangat bercerita memakai bahasa Jepang saat mengisahkan penghormatan pada matahari setiap pagi di sekolah. Anak kecil belum mengerti apa-apa. Ikut saja yang diperintahkan.

Emak bukan anak sekolahan yang pintar, tapi disenangi guru-guru. Emak berbadan pendek dan bulat berisi. Bawaannya lincah dan periang. Entah memang kepribadiannya yang unik atau karena anak dari orang yang berpengaruh di desa tersebut. Setiap perayaan kenaikan kelas, Pak Ulu selalu membahagiakan anak-anak sekolah dan guru-guru dengan membawa banyak makanan: tumpeng, buah-buahan, dan hasil tani yang lain.

Suatu hari Emak kecil berangkat sekolah seperti biasa. Dibekali makanan oleh ibunya (baca: Enek). Emak biasa berangkat sekolah bersama-sama teman yang lain. Munculah ide konyol Emak. Beberapa anak pun manut saja. Mereka tidak sampai ke sekolah, malah bermain-main di sungai dan menyantap bekalnya masing-masing di sana.

Hari berikutnya, guru pun marah. Mencari-cari tahu siapa biang kerok dari masalah itu, yang berani mengajak bolos teman-teman sekelas. Semua terdiam termasuk Emak. Anak yang lain pun tak berani menunjuk Emak. Emak pun lolos dari hukuman. Ada-ada saja.

Emak punya teman sekelas yang sangat pintar, tapi terkenal pelit. Bukan pelit masalah uang, melainkan pelit memberi jawaban ke teman yang lain. Namun, Emak bisa saja mencontek pelajaran darinya. Mereka memanggil anak itu dengan sebutan "Si Cengek". Cengek itu bahasa Sunda artinya cabai rawit, kecil, tapi pedas. Alkisah, datanglah seorang pengawas sekolah mengetes murid-murid. Si Bapak itu mengajukan soal matematika yang cukup sulit. Tak ada satu pun yang bisa menjawab, kecuali murid yang perwakannya kecil dengan percaya diri unjuk tangan.

"Saya, bisa!" 

"Silakan ke depan!"

Ternyata benar saja jawabanya benar.

Pujian pun diberikan pada anak itu, kecil-kecil cabe rawit. 

Emak hanya sekolah SR saja, sementara Si Cengek tumbuh dan berkembang pesat melanjutkan sekolah sampai sekolah tinggi. Konon, ia pun menjadi seorang guru. 

#komunitasliterasi

#komunitasliterasipemudipersis

#penamuslimah

#panahkompilasi

#pemudiroadtomuktamar

#kolektifkolaboratif

#pemudicerdasberakhlakulkarimah