Gambar: freepik.com
Farra menengok arloji yang melingkar di tangan
kirinya. Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Farra mondar-mandir di depan
rumahnya. Gelisah.
"Pak, cepat! Sudah siang," keluhnya.
Bapak pun segera mengeluarkan sepeda tuanya tanpa
merespon keluhan Farra.
Farra pun naik. Farra duduk di belakang punggung
Bapak. Bapak mengayuh sepedanya. Menelusuri jalanan Bandung yang masih dingin
pagi itu.
"Gelegarrrr!"
Suara petir bergemuruh di atas langit mendung.
Beriringan dengan sibuknya hilir mudik kendaraan.
Hujan pun mulai menetes betubi-tubi di atas kepala
Farra. Airnya membasahi kerudung putih Farra. Jalanan mulai bergenang. Roda
sepeda memecah genangannya. Rok dan baju putih Farra pun terciprat air kotor.
"Haduh!" gerutu Farra.
Bapak yang mulai menyadari hujan itu makin deras
segera memperlambat kayuhannya. Berhenti di bahu jalan.
"Kamu naik angkot saja!" saran Bapak.
Bapak pun melambaikan tangannya ke depan angkot hijau.
Angkot berhenti tepat di depan Farra. Farra pun mencium punggung tangan Bapak.
"Assalamu'alaikum!"
ucapnya lirih.
"Waalaikum
salam warrahmatullah," jawabnya.
Farra pun menaiki angkot. Angkot melaju menjauhi Bapak
yang basah kuyup ditimpa hujan. Namun, Bapak tetap menyunggingkan senyum.
Tulus.
"Dek, bajunya kotor," ucap seorang Ibu di
angkot.
"Iya, Bu." Farra mengiyakan.
Sebenarnya kalau boleh, Farra mau pulang saja. Namun,
hari itu ada ulangan Fisika. Farra menjauhkan pikirannya untuk bolos. Pikirnya
malas harus ulangan susulan sendiri.
***
Enam belas tahun yang lalu Farra lahir. Bapak begitu
senang karena yang keluar dari rahim Ibu adalah bayi perempuan yang mungil.
Farradila Putri namanya. Bapak sangat memanjakkan putri sematawayangnya. Dalam
keadaan yang serba kekurangan, Bapak selalu berusaha memenuhi keinginan Farra.
Farra pun tumbuh menjadi anak pintar yang selalu
menjadi juara di kelasnya. Tak ayal, Farra pun selalu meraih beasiswa. Sedari
duduk di bangku SD, SMP, sampai masuk SMA unggulan dan full beasiswa sampai
kelulusan pun terjamin. Hal itu membuat Bapak lebih dan lebih meyayangi Farra.
***
Farra dan Fathur turun dari bus. Mereka menyebrang dan
menelusuri jalan Inggit Garnasih. Konon, di jalan tersebut terdapat rumah istri
pertama Bapak Proklamator kita—Ir. Soekarno.
"Aduh, kenapa harus lewat sini sih?" keluhnya
dalam hati.
Farra tampak gelisah. Keringat dingin merembes ke
pori-pori kulitnya.
"Kenapa Farra?“ tanya Fathur.
"Enggak," sergahnya menyeringai.
Farra melihat Bapak yang sedang mengayuh mesin jahit
di pinggir trotoar. Setelah rukonya di Cikutra terjual, Bapak membuka permak
dan jahit di pinggir jalan. Di sebelah kantor DPC partai Demokrat.
Farra benar-benar was-was. Farra takut temannya tahu
pekerjaan Bapaknya. Farra pun berjalan di bahu jalan sengaja tidak lewat depan
Bapak. Sementara Fathur berjalan tepat di depan hidung Bapak.
"Permisi, Pak." ujarnya.
"Iya, silakan, Dek." Bapak yang menunduk pun
mengangkat kepalanya.
Bapak pun tak sengaja menoleh ke arah Farra. Farra
limbung dan salah tingkah. Farra pura-pura tidak melihat keberadaan bapaknya.
Farra mempercepat langkahnya.
"Kamu kenapa sih, kayak lihat hantu aja?"
tanya Fathur aneh.
"Hehe.. Ah, enggak" Farra menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal.
***
"Pak, beliin motor dong!" pinta Farra.
"Buat apa, Nak?" introgasi Bapak.
"Ya, buat sekolah dong, Pak!" timpalnya
meninggi.
"Kan masih bisa Bapak antar naik sepeda.
Pulangnya naik bus," jelas Bapak.
Farra pun manyun.
Ia menghentak-hentakkan kakinya menuju kamar.
Bapak pun mulai mencari cara untuk membeli motor.
Walau awalnya Bapak menolak permintaan Farra.
Tiga
hari kemudian.
Sepulang sekolah terparkir motor bebek di teras rumah.
Tidak bagus, tapi lumayan dibanding sepeda tua. Bapak terpaksa menyicil motor
demi Farra.
"Asyik! Farra boleh ya ke sekolah naik motor
sendiri?!" rajuknya.
"Jangan, Nak! Biar Bapak antar dan jemput kamu
saja. Biar aman." Bapak menjelaskan.
"Yah," kecewa Farra.
Besoknya Bapak mulai mengantar Farra naik motor. Kalau
pulang, terkadang masih naik bus.
***
"Pak, hari ini jemput ya! Soalnya bimbel sampai
setengah enam. Bus udah gak ada jam segitu," cerocos Farra.
"Bapak lagi banyak kerjaan. Kamu naik angkot kan
bisa?!" saran Bapak.
"Ah, Bapak! Gak mau ah. Males naik angkot
malem-malem," protes Farra.
"Ya, Bapak usahakan." Bapak mengalah lagi.
***
Setelah bel berbunyi, Farra bergegas keluar kelas.
Farra menunggu di persimpangan jalan.
"Mana Bapak, ya?" batinnya kesal.
Dihitungnya satu per satu motor yang lewat depan
matanya.
"Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima... sepuluh...
dua puluh... dua puluh lima.. dua puluh enam.."
Langit menggelap. Cahaya diganti oleh lampu-lampu yang
redup. Farra capek menghitung. Kalau tak malu ingin menangis sekeras-kerasnya
karena kesal.
Dari kejauhan, Farra melihat Bapak menyungging senyum.
Lampunya masih merah. Farra menunjukkan wajah kesal dan marah pada Bapak.
Khawatir pada Farra. Bapak menancap gas saat lampu
merah berganti lampu hijau.
"Tinn! Tinn!" bunyi klakson motor Bapak.
"Dinn! Dinnnnnn!" disambut klakson mobil
yang menyerobot di arah yang berlawanan.
Farra sangat panik. Suasana menegang. Semua tertuju
pada dua kendaraan yang beradu itu.
"Braakkk!"
Motor Bapak terpental. Mobil yang menabraknya langsung
tancap gas. Kabur.
"Bapaaaak!" teriak Farra.
Farra lari tunggang langgang. Menuju Bapak yang
tergeletak bersimbah darah. Air mata Farra bercucuran seperti keran yang tak
bisa ditutup.
Bapak menyadari putrinya kini ada mendekapnya. Bapak
menyungging senyum. Setelah itu hilang kesadaran. Kini Farra mengisak.
"Ngiung! Ngiung! Ngiung!" suara sirine
ambulans memecah kebisingan jalanan.
Bapak langsung diangkut masuk ambulans. Farra
membuntutinya. Duduk di samping Bapak yang tak sadarkan diri.
"Pak, Bangun!" lirih Farra. "Maafkan
Farra! Farra janji akan jadi anak baik. Bangun, Pak!
Lima menit ambulans tiba di IGD Rumah Sakit Boromeus.
"Adek, keluarga korban?" tanya seorang dokter.
"Iya, Dok." Farra menegaskan.
Farra pun menandatangani pernyataan bahwa Bapak harus
dioperasi. Bapak mengalami pendarahan di luar dan di dalam kepalanya. Maka
harus cepat ditangani.
Ibu dan kerabat berdatangan. Kini mereka menunggu
Bapak selesai operasi. Farra tak hentinya mengeluarkan air di matanya. Meluncur
tak terbendung.
"Bu, Bapak celaka gara-gara Farra," sesal
Farra.
"Ini sudah takdir Allah, Nak." Ibu berusaha
menghibur Farra.
Enam jam berlalu. Dokter pun keluar dari ruangan
operasi.
"Bagaimana, Dok?" desak Farra.
"Syukurlah, operasi berhasil, tapi pasien belum
sadar." Dokter menjelaskan.
"Alhamdulillah...
" ucap Ibu.
Farra dan Ibu masuk ke ruangan Bapak. Selang dan alat
bantu medis terpasang ke tubuh Bapak. Meski operasi berhasil, Farra belum tenang.
"Pak, maafkan Farra! Bangun, Pak! Farra ingin
lihat senyum tulus Bapak lagi." ujarnya bertubi-tubi. "Huuhuuhuuuuu,
Bapak.."
"Teet! Teet!" suara alat medis berbunyi.
Beberapa perawat dan dokter langsung masuk ke ruangan.
"Tolong, tunggu di luar ya!" perintahnya.
Ibu dan Farra pun keluar. Farra tetap mengintipnya
lewat kaca. Segala doa dipanjatkan Farra untuk kesembuhan Bapak. Begitu pula
Ibu. Ibu juga mendekap Farra. Menguatkannya.
Dada Bapak ditekan-tekan agar jantungnya berdegup
lagi.
"Defibrillator!" teriak Dokter.
Alat itu pun dipasangkan. Dada Bapak pun kembali
diguncang oleh alat itu. Dadanya terangkat. Tubuhnya agak terpental.
"Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttt!"
Wajah Bapak diusap. Selimut putih ditutupkan ke
seluruh badannya.
"Bapaaaaaaaak!" Farra meraung.
"Innalillahi
wainna ilaihi roji’un..." isak Ibu.
***
T A M A T