Jumat, 10 Agustus 2018

[CERPEN] Isak oleh Imie Fadhil


Gambar: freepik.com


Farra menengok arloji yang melingkar di tangan kirinya. Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Farra mondar-mandir di depan rumahnya. Gelisah.

"Pak, cepat! Sudah siang," keluhnya.

Bapak pun segera mengeluarkan sepeda tuanya tanpa merespon keluhan Farra.
Farra pun naik. Farra duduk di belakang punggung Bapak. Bapak mengayuh sepedanya. Menelusuri jalanan Bandung yang masih dingin pagi itu.

"Gelegarrrr!"
Suara petir bergemuruh di atas langit mendung. Beriringan dengan sibuknya hilir mudik kendaraan.
Hujan pun mulai menetes betubi-tubi di atas kepala Farra. Airnya membasahi kerudung putih Farra. Jalanan mulai bergenang. Roda sepeda memecah genangannya. Rok dan baju putih Farra pun terciprat air kotor.

"Haduh!" gerutu  Farra.
Bapak yang mulai menyadari hujan itu makin deras segera memperlambat kayuhannya. Berhenti di bahu jalan.

"Kamu naik angkot saja!" saran Bapak.
Bapak pun melambaikan tangannya ke depan angkot hijau. Angkot berhenti tepat di depan Farra. Farra pun mencium punggung tangan Bapak.

"Assalamu'alaikum!" ucapnya lirih.
"Waalaikum salam warrahmatullah," jawabnya.

Farra pun menaiki angkot. Angkot melaju menjauhi Bapak yang basah kuyup ditimpa hujan. Namun, Bapak tetap menyunggingkan senyum. Tulus.

"Dek, bajunya kotor," ucap seorang Ibu di angkot.
"Iya, Bu." Farra mengiyakan.

Sebenarnya kalau boleh, Farra mau pulang saja. Namun, hari itu ada ulangan Fisika. Farra menjauhkan pikirannya untuk bolos. Pikirnya malas harus ulangan susulan sendiri.
***
Enam belas tahun yang lalu Farra lahir. Bapak begitu senang karena yang keluar dari rahim Ibu adalah bayi perempuan yang mungil. Farradila Putri namanya. Bapak sangat memanjakkan putri sematawayangnya. Dalam keadaan yang serba kekurangan, Bapak selalu berusaha memenuhi keinginan Farra.

Farra pun tumbuh menjadi anak pintar yang selalu menjadi juara di kelasnya. Tak ayal, Farra pun selalu meraih beasiswa. Sedari duduk di bangku SD, SMP, sampai masuk SMA unggulan dan full beasiswa sampai kelulusan pun terjamin. Hal itu membuat Bapak lebih dan lebih meyayangi Farra.
***
Farra dan Fathur turun dari bus. Mereka menyebrang dan menelusuri jalan Inggit Garnasih. Konon, di jalan tersebut terdapat rumah istri pertama Bapak Proklamator kita—Ir. Soekarno.

"Aduh, kenapa harus lewat sini sih?" keluhnya dalam hati.
Farra tampak gelisah. Keringat dingin merembes ke pori-pori kulitnya.

"Kenapa Farra?“ tanya Fathur.
"Enggak," sergahnya menyeringai.

Farra melihat Bapak yang sedang mengayuh mesin jahit di pinggir trotoar. Setelah rukonya di Cikutra terjual, Bapak membuka permak dan jahit di pinggir jalan. Di sebelah kantor DPC partai Demokrat.
Farra benar-benar was-was. Farra takut temannya tahu pekerjaan Bapaknya. Farra pun berjalan di bahu jalan sengaja tidak lewat depan Bapak. Sementara Fathur berjalan tepat di depan hidung Bapak.

"Permisi, Pak." ujarnya.
"Iya, silakan, Dek." Bapak yang menunduk pun mengangkat kepalanya.

Bapak pun tak sengaja menoleh ke arah Farra. Farra limbung dan salah tingkah. Farra pura-pura tidak melihat keberadaan bapaknya. Farra mempercepat langkahnya.


"Kamu kenapa sih, kayak lihat hantu aja?" tanya Fathur aneh.
"Hehe.. Ah, enggak" Farra menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
***
"Pak, beliin motor dong!" pinta Farra.
"Buat apa, Nak?" introgasi Bapak.
"Ya, buat sekolah dong, Pak!" timpalnya meninggi.
"Kan masih bisa Bapak antar naik sepeda. Pulangnya naik bus," jelas Bapak.

Farra pun manyun. Ia menghentak-hentakkan kakinya menuju kamar.
Bapak pun mulai mencari cara untuk membeli motor. Walau awalnya Bapak menolak permintaan Farra.

Tiga hari kemudian.
Sepulang sekolah terparkir motor bebek di teras rumah. Tidak bagus, tapi lumayan dibanding sepeda tua. Bapak terpaksa menyicil motor demi Farra.

"Asyik! Farra boleh ya ke sekolah naik motor sendiri?!" rajuknya.
"Jangan, Nak! Biar Bapak antar dan jemput kamu saja. Biar aman." Bapak menjelaskan.
"Yah," kecewa Farra.

Besoknya Bapak mulai mengantar Farra naik motor. Kalau pulang, terkadang masih naik bus.
***
"Pak, hari ini jemput ya! Soalnya bimbel sampai setengah enam. Bus udah gak ada jam segitu," cerocos Farra.
"Bapak lagi banyak kerjaan. Kamu naik angkot kan bisa?!" saran Bapak.
"Ah, Bapak! Gak mau ah. Males naik angkot malem-malem," protes Farra.
"Ya, Bapak usahakan." Bapak mengalah lagi.
***
Setelah bel berbunyi, Farra bergegas keluar kelas. Farra menunggu di persimpangan jalan.

"Mana Bapak, ya?" batinnya kesal.
Dihitungnya satu per satu motor yang lewat depan matanya.
"Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima... sepuluh... dua puluh... dua puluh lima.. dua puluh enam.."

Langit menggelap. Cahaya diganti oleh lampu-lampu yang redup. Farra capek menghitung. Kalau tak malu ingin menangis sekeras-kerasnya karena kesal.

Dari kejauhan, Farra melihat Bapak menyungging senyum. Lampunya masih merah. Farra menunjukkan wajah kesal dan marah pada Bapak.
Khawatir pada Farra. Bapak menancap gas saat lampu merah berganti lampu hijau.

"Tinn! Tinn!" bunyi klakson motor Bapak.
"Dinn! Dinnnnnn!" disambut klakson mobil yang menyerobot di arah yang berlawanan.
Farra sangat panik. Suasana menegang. Semua tertuju pada dua kendaraan yang beradu itu.

"Braakkk!"
Motor Bapak terpental. Mobil yang menabraknya langsung tancap gas. Kabur.

"Bapaaaak!" teriak Farra.
Farra lari tunggang langgang. Menuju Bapak yang tergeletak bersimbah darah. Air mata Farra bercucuran seperti keran yang tak bisa ditutup.

Bapak menyadari putrinya kini ada mendekapnya. Bapak menyungging senyum. Setelah itu hilang kesadaran. Kini Farra mengisak.

"Ngiung! Ngiung! Ngiung!" suara sirine ambulans memecah kebisingan jalanan.
Bapak langsung diangkut masuk ambulans. Farra membuntutinya. Duduk di samping Bapak yang tak sadarkan diri.

"Pak, Bangun!" lirih Farra. "Maafkan Farra! Farra janji akan jadi anak baik. Bangun, Pak!

Lima menit ambulans tiba di IGD Rumah Sakit Boromeus.
"Adek, keluarga korban?" tanya seorang dokter.
"Iya, Dok." Farra menegaskan.

Farra pun menandatangani pernyataan bahwa Bapak harus dioperasi. Bapak mengalami pendarahan di luar dan di dalam kepalanya. Maka harus cepat ditangani.
Ibu dan kerabat berdatangan. Kini mereka menunggu Bapak selesai operasi. Farra tak hentinya mengeluarkan air di matanya. Meluncur tak terbendung.

"Bu, Bapak celaka gara-gara Farra," sesal Farra.
"Ini sudah takdir Allah, Nak." Ibu berusaha menghibur Farra.

Enam jam berlalu. Dokter pun keluar dari ruangan operasi.
"Bagaimana, Dok?" desak Farra.
"Syukurlah, operasi berhasil, tapi pasien belum sadar." Dokter menjelaskan.
"Alhamdulillah... " ucap Ibu.

Farra dan Ibu masuk ke ruangan Bapak. Selang dan alat bantu medis terpasang ke tubuh Bapak. Meski operasi berhasil, Farra belum tenang.
"Pak, maafkan Farra! Bangun, Pak! Farra ingin lihat senyum tulus Bapak lagi." ujarnya bertubi-tubi. "Huuhuuhuuuuu, Bapak.."

"Teet! Teet!" suara alat medis berbunyi.
Beberapa perawat dan dokter langsung masuk ke ruangan.
"Tolong, tunggu di luar ya!" perintahnya.

Ibu dan Farra pun keluar. Farra tetap mengintipnya lewat kaca. Segala doa dipanjatkan Farra untuk kesembuhan Bapak. Begitu pula Ibu. Ibu juga mendekap Farra. Menguatkannya.

Dada Bapak ditekan-tekan agar jantungnya berdegup lagi.
"Defibrillator!" teriak Dokter.
Alat itu pun dipasangkan. Dada Bapak pun kembali diguncang oleh alat itu. Dadanya terangkat. Tubuhnya agak terpental.

"Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttt!"
Wajah Bapak diusap. Selimut putih ditutupkan ke seluruh badannya.
"Bapaaaaaaaak!" Farra meraung.
"Innalillahi wainna ilaihi roji’un..." isak Ibu.
***
T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar