Senin, 19 Juni 2023

[Cerpen] Keinara oleh Imi Fadhil


Gambar: canva apk

Ruangan sidang hening. Kau duduk bersebelahan dengan Keinara, perempuan yang pernah kau cintai. Keinara yang pernah kau lingkarkan cincin di jari manisnya. Kalian berdua sama-sama menunggu sang hakim mengetuk palunya. Keinara yang menusuk hatimu, dengan perselingkuhanya dengan sahabatmu sediri. Apakah hubungan kalian layak dilanjutkan atau keinginanmu untuk berpisah dengan Keinara dikabulkan. 

Kau tampak tegar hari ini, tak seperti hari-hari sebelumnya. Kau sudah bulat melepas Keinaramu. Sebaliknya, perempuan di sebelahmu sangat kusut. Tak kuasa sedikit pun mengangkat wajahnya. Tampak penyesalan yang dalam, tapi sudah terlambat. Ya, Selamat! Keinginanmu ternyata terkabul.

“Maaf, ya Mas!” sesal Keinara sambil menjabat tanganmu.

Kau meraih tangannya sambil mengangguk pelan dan sedikit menyunggingkan senyum pahit. Biarkan seisi dunia memandang kau raja tega. Namun, kau sudah mengambil keputusan yang sangat tepat. Perpisahan bisa membuat dua insan memperbaiki dirinya masing-masing. Itulah tanda cintamu pada Kinara. 

Cinta memang terkadang harus melepas untuk meraih kebahagiaan sebenarnya. Semoga Keinara meraih kebahagiaannya. Kau pun bisa melanjutkan hidupmu. Toh, dengan ataupun tanpanya. Matahari tetap menyongsongmu dari ufuk timur. Langit masih senantiasa siap menghiasi harimu. Pun bumi, masih setia untuk kaupijaki. Kau pun akan menemukan kebahagiaanmu di kemudian hari. Harap akan selalu ada. 

***

6 bulan yang lalu.

Kau berbincang hangat dengan Keinara. Saat itu di meja makan, kalian sarapan sandwich isi salad, keju, dan telur setengah matang kesukaanmu. Istrimu memang jago meracik bumbu. Masakan sederhana menjadi selalu istimewa kala Keinara yang meramunya. Kau pun menutup sarapanmu dengan orange juice. 

“Aku berangkat, ya!” katamu.

“Eh, Mas!” sela Kirana.

“Iya?!” sahutmu lembut.

“Aku mau ngobrol serius, Mas!” pinta Keinara.

“OK, boleh. Pulang kantor ya?!” responmu cepat.

“OK!” jawabnya riang. 

Keinara pun menyodorkan tas kerjamu. Merapikan dasimu. Mengecup punggung tanganmu. Kau balas kecupannya dengan kecupan lembut di keningnya. Kau bahagia dan Keinara bahagia. 

***

Sepulangmu dari tempat kerjamu. Keinara menyambutmu, meraih tas dan jasmu. Dia tak lupa menagih janjimu. 

“Mas mau makan atau mandi dulu?” tawarnya.

“Aku sudah makan. Mandinya nanti saja,” jawabmu. 

“Katanya kamu mau ngorbrol serius? Silakan sampaikan sekarang!” tanyamu penasaran.

“Aku bosan, Mas. Diam di rumah terus,” tukasnya.

Kau terdiam sejenak mendengar pernyataan Keinara. Setelah dua bulan menikah, Keinara memang hanya diam di rumah. Kebetulan kau dan Keinara belum dipercaya punya momongan. 

“Terus mau kamu apa?” selidikmu.

“Aku mau kerja lagi. Agar hilang penatku, Mas.” Keinara merajuk.

“Aku mandi dulu deh,” alihmu dan berlalu ke kamar mandi. 

Keinara tampak kecewa. Wajah sumringahnya berubah kecut. Keinara adalah perempuan yang diidamkan semua lelaki, termasuk kau. Perempuan berperawakan model, cantik dan intelek. Tak ayal, kalau kau terlalu mengagumi dan mencintai Keinaramu. Kau memang beruntung berhasil meminang Keinara. 

Kau buka pintu kamar mandi. Kau mengguyur peluhmu. Kau tampak berat memikirkan perkataan Keinara. Maumu Keinara jadi ibu rumah tangga saja. Dia duduk manis di rumah menunggumu pulang kerja. Namun, kau pikir memang tak adil bagi Keinara. Di sebuah kompleks perumahan yang sangat individual, Keinara seolah mati gaya. Apalagi kehadiran sang buang hati belum kunjung tiba di tengah kalian. 

Kau pun menyelesaikan ritualmu di kamar mandi. Kau beranjak ke kamarmu dan Keinara. Kaulihat Keinara sudah terbaring dan memejam. Kau tahu, Keinara belum benar-benar tidur. Kaukecup lembut bibirnya. Keinara pun membuka kelopak matanya. 

“Kamu boleh kerja lagi,” ungkapmu meruntuhkan ego di lubuk hati.

Keinara senang bukan kepalang. Malammu dipenuhi bintang. Semesta turut merayakan kebahagian Keinara. Pun dengan kau, tak ada alasan kau tak bahagia karena bahagia Keinara adalah bahagiamu jua. 

***

Tak perlu waktu lama untuk istrimu mendapatkan pekerjaan barunya. Kecerdasannya yang di atas rata-rata membuat Keinara ditempatkan di posisi manajer di sebuah perusahaan advertisement ternama di Kota Bandung. Posisinya tak jauh dari kantormu berdiri. Oleh karena itu, kau sering menengok Keinara.

Kau menyambangi Keinara saat jam istirahat kantor. Kau janjian bertemu dengannya di lobi. Kau duduk di sofa dekat resepsionis. 

“Andra?!” sapa seseorang dari kejauhan.

“Hei!” kau pun membalas sapanya.

Dia adalah Dewa, temanmu saat SMA. Bahkan, mereka sangat dekat. 

“Dewa?! Kok, kamu di sini?” tanyamu heran. Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab. Hanya basa-basi semata. Tentu saja kau tahu, kalau Dewa ada di gedung itu, dia pasti bekerja di sana.

Kalian bernostalgia sejenak. Mengingat masa-masa yang indah saat berseragam putih-abu. Keinara pun muncul.

“Kalian sudah saling kenal?” tanyanya.

“Iya!” jawabmu dan Dewa bersamaan. 

“Kenalkan, ini pendamping hidupku. Kau pasti sudah kenal juga dengan Keinara.” Kau memperkenalkan Keinara sebagai istrimu pada Dewa.

“Kau hebat, kawan! Bisa mendapatkan perempuan cantik dan intelek macam Keinara,” ledek Dewa.

“Ha.. ha.. ha.. makanya cepatlah kau cari istri!” Kau balik meledek Dewa.

Dewa hanya tertawa renyah menanggapi ledekan sahabatnya.

“Kami makan siang dulu, Wa! Kau pamit. Dibuntuti istrimu yang menyungging sedikit senyum untuk Dewa.

***

Suatu hari, kebetulan Keinara tak masuk kantor. Istrimu sedikit demam dan seharian hanya rehat di kamar. Keinara tak mau dibawa ke dokter. Malam harinya, sepulang lembur, kau pun masuk kamar. Keinara sedang di kamar kecil. Kau buka gadgetnya. Ada obrolan Istrimu dengan Dewa sedari siang tadi. Obrolannya lumayan panjang. Kau baca dalam hati.

Dewa:

Kei, kamu gak masuk kerja?

Keinara:

Iya nih, aku sedikit demam.

Dewa:

Andra gak bawa kamu ke dokter?

Keinara:

Aku cuma kecapean aja. Istirahat sebentar juga sehat lagi.

Dewa:

Oh, ya udah. Banyak yang nanya nih, kenapa kamu gak masuk kantor.

Keinara:

Bilangin aja aku gak apa-apa.

Dewa:

Banyak yang khawatir sama kamu, berarti kamu banyak yang sayang.

Keinara:

Haha ... iya syukurlah. 

Dewa:

Aku juga khawatir, berarti aku sayang juga sama kamu.

Keinara:

Makasih udah sayang sama aku.

Dewa:

Emang boleh aku sayang sama kamu, Kei?

Keinara: 

Ya boleh, silakan. Kan sebagai teman, kita harus saling menyayangi. 

Dewa:

Kalau aku sayangnya lebih dari sekadar teman gimana? Boleh?

Keinara:

Hahaha! Gak boleh, aku kan punya Mas Andra.

Tetiba Keinara muncul di hadapanmu. Kau pun segera menekan tombol kembali secepat kilat. Lalu menyimpannya kembali di tempat semula. 

“Eh, Mas sudah pulang?!” Keinara menyambar dengan retorisnya.

“Iya!” jawabmu singkat. 

Kau pun membersihkan badanmu dan segera naik ke ranjangmu. Lalu kau tidur membelakangi istrimu. Keinara mengira kau capek kerja dan butuh istirahat lebih awal. Istrimu pun menengok gadgetnya dan menghapus semua obrolannya dengan Dewa. Tak lama Keinara terlelap di atas bantal empuknya. 

Sementara di otakmu masih berkeliaran pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan Dewa dan istrimu. Dari obrolannya, tampak sekali kalau Dewa menyukai istrimu. Namun, kau luruskan keraguanmu pada istrimu. Pikirmu, Keinara dengan segala kelebihannya pasti banyak lelaki yang menyukainya. Kau pun berbaik sangka, Keinara tak akan tega melayani Dewa atau lelaki lain. kau berpikir mungkin Keinara hanya menjaga hubungan baik dengan Dewa yang notabene sahabatku. Sekaligus rekan kerjanya. Setelah clear kau pun tidur menyusul Keinara dengan posisi masih memunggunginya. 

***

Keinara semakin sibuk dengan pekerjaan kantornya. Sampai-sampai harus bermalam berhari-hari di luar kota. Kau sangat mendukung penuh karir istrimu. Kau pun sangat percaya akan kesetiaannya. Pagi itu Keinara pamit akan berangkat ke Puncak-Bogor untuk pekerjaannya selama dua hari. Entah kenapa tampaknya kau agak berat. Tak seperti biasanya. 

“Dewa berangkat juga?” tanyamu sinis.

“Enggak, emang kenapa?” Keinara merasa ada yang aneh.

“Oh, gak apa-apa,” jawabmu.

Kau pun merasa sedikit tenang melepas Keinara. Kau pun berencana untuk mengecek kebenaran ketiadakikutsertaan Dewa. Saat jam makan siang kau menuju gedung perkantoran istrimu. Kau puas saat melihat Dewa ada. Kau cepat-cepat bergegas jauh meninggalkan gedung itu. Sebelum Dewa tahu dan melihatmu. 

Malam itu kau sendirian lagi. Kau membuka album pernikahanmu dengan Keinara. Kau buka lembaran demi lembaran dengan suka cita. Kalian memang pasangan muda yang paling bahagia di momen itu. Kau tersenyum-senyum sendiri. Smartphone-mu berdering. Kau raih dengan tangan kananmu. Ada suara dari kejauhan.

“Hallo!”

“Iya, Hallo!” jawabmu.

“Istrimu ada di rumah kan?” tanyanya.

“Iy.. iy.. ya! Dia ada di kamar.” Jawabmu gelagapan. Kau mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Syukurlah! Mungkin yang barusan kulihat bersama sesorang lelaki hanya mirip saja,” tukasnya.

Dia pun menutup panggilannya. Dia adalah teman lamamu. Kau sekarang bingung. Pikiranmu kacau. Otakmu kusut tak karuan. Kau lihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 11.55. Tak mungkin kau pergi ke puncak malam-malam begitu. Kau pun memutuskan untuk pergi setelah Subuh. Malam itu kau tidak benar-benar tidur. Kau rasakan malam benar-benar lama. 

Setelah menunaikan dua rakaat wajib, kau pun menyalakan mobilmu menuju Puncak. Butuh dua jam saja untuk sampai ke sana. Jalanan memang masih lenggang. Perasaanmu tak karuan. Kau masih berharap pransangkamu salah semua. Kau langsung menuju resepsionis hotel, tempat Keinara bermalam. Posisimu sebagai suami Keinara membuat resepsionis tak berpikir panjang untuk memberi tahu nomor kamarnya. Setelah memegang nomor hotel di kepalamu, kau langsung mencari kamarnya. 

Kau beruntung bisa langsung menemukannya. Kau memilih tak langsung masuk. Kau lihat jam di tanganmu menunjukkan pukul 07.00. Tak lama pintu kamar pun terbuka. Ya, dia Dewa—temanmu. Kau setengah berlari menghampiri Dewa. Kau menyambutnya dengan tinjumu. Tanpa berkata apa-apa. Kau pun masuk kamar. 

“Kenapa masuk lagi, Mas?” suara Keinara di dalam.

“Masih kangen ya?” tambah Keinara.

Kau lihat Keinara bengong melihatmu. Keinara tak berbusana di atas ranjang kamar hotel. 

“Mas Andra?!” Keinara heran.

“Iya, Aku juga sudah meninju Dewa sebelum masuk ke sini,” terangmu ringan pada Keinara.

Setelah kau melihatnya dengan jelas. Terang semua. Bagimu sudah cukup untuk menjelaskan apa yang kau pikirkan selama ini. Kau berbalik ke arah pintu kamar untuk keluar. 

“Mas! Mas Andra!” Keinara memanggilmu, mengejar sambil menangis.

Namun, dia hanya mengikutimu sampai pintu. Tak mungkin keluar dengan keadaannya yang seperti itu. Kau benar-benar tak memedulikannya rintihannya. Keinara sangat menjijikan pagi itu. Bahkan menurutmu, lebih menjijikan dari seekor binatang. Di sana berakhirlah hubunganmu dengan Keinaramu.

***

Kau sendirian lagi. Namun, kau merasa lebih hidup sekarang. Setelah putusan pengadilan, kau merasa pikiranmu jauh lebih tenang dan bebas. Rekan-rekanmu menjodoh-jodohkanmu pada beberapa perempuan. Bahkan, banyak perempuan mendekatimu. Kau lihat wajahmu di cermin. Kau memang tampan. Tak kalah tampan dengan Dewa. Kau juga mapan dan yang paling penting adalah kau setia. Namun kau selalu menolak. Kau lebih senang melajang dulu. Kau hanya ingin fokus berkarir. 

Dua tahun sudah kau menduda. Ada pesan masuk pada akun BBM-mu, ternyata broadcast dari seorang teman lama. 

“Nisa teman gue kehilangan semua kontaknya, tolong bantu: add ulang ya PIN barunya. Thanks!”

Di sana juga tertera PIN baru yang namanya Nisa. Kau iseng klik PIN tersebut. Tak lama Nisa mengkonfirmasi undangan pertemananmu di BBM. Nisa, kau lihat ia cantik dan berhijab. Pikirmu, mungkin ini cocok untukmu. Perempuan berhijab tak mungkin melakukan affair. Tiba-tiba kau muak karena teringat Keinara dua tahun yang lalu. Kau tutup smartphone dan kembali meneruskan pekerjaanmu. 

“Ndra, malam ada pertemuan dengan klien-klien kita. Hadir ya!” teriak rekanmu. 

“OK!” jawabmu singkat. 

Malam itu kau benar-benar hadir. Pertemuan yang biasa. Hanya ngobrol-ngobrol dan makan malam. Namun spesial bagimu. Di sana kau melihat Nisa dengan teman lamamu yang dulu sempat mengiklankan PIN Nisa. Kau kagum padanya. Hanya itu. Jilbabnya yang terurai membuat kau hormat padanya. 

“Kenalin, Ndra! Ini Nisa,” dia bilang.

“Andra,” kau pun spontan mengangkat kedua tanganmu menempel di dada.

Kau pun tak mengerti kenapa melakukan hal itu. Kau pikir, mungkin seperti itu cara menghormati perempuan berhijab. Malam itu pun berlalu. Bulan menyibak bintang-bintang di langit dengan cantiknya. Kau sangat mencintai langit malam itu. 

Kau pun berangan-angan untuk membuka lembaran baru hidupmu yang lebih indah. Kau beranikan diri mengirim pesan singkat pada Nisa. 

Kau : Assalamu’alaikum. Maaf mengganngu malammu. Aku tak suka bertele-tele. Maukah kamu jadi istriku?

Nisa: 

Wa’alaikum salam. Maaf, mungkin kamu salah kirim.

Kau:

Tidak, Aku Andra memang mengajakmu untuk menikah.

Nisa:

Iya, aku tahu kamu dari temanku.                  Temanku banyak bercerita tentangmu, Kang. 

Kau:

Bagus deh, berarti kamu tahu masa laluku. Ya, sudah. Aku tak mau mengungkitnya. 

Nisa:

Oh, iya maaf, Kang. 

Kau:

Jadi kamu mau atau tidak?

Nisa:

Mau, insya Allah.

Kau:

Alhamdulillah. Syukurlah! Aku gak mau ngajak kamu pacaran.

Nisa:

Aku juga gak kan nerima kamu, Kang kalau hanya ngajak pacaran. 

He ... he ... he....

Kau mantap sekali melamar Nisa. Padahal cinta itu belum tumbuh di hatimu. Namun, kau yakin cinta akan datang sendirinya saat Allah menebar benihnya dalam hatimu. Sejak hari itu kau sering mengajak Nisa makan. Namun kalian tak pernah berdua. Selalu saja beramai-ramai. Sesekali dengan teman-temanmu. Sesekali juga dengan teman-teman Nisa. 

Kau pun makin merasa cocok. Nisa benar-benar berbeda dengan perempuan lainnya yang kau kenal. Kau sangat menghormatinya. Kau sangat menjaganya. Kau tak berani memeluk atau mencium Nisa, seperti yang kau lakukan sebelumnya pada semua mantanmu. Bahkan, memegang tangannya pun kau enggan. Itulah makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang kau tak sadari adanya. Cinta tanpa kau sadari telah mulai tumbuh di hatimu. Cinta itu menjaga pasanganmu. Tak melakukan hal yang diharamkan sebelum akad terucap. 

Kau pun mengunjungi rumah orang tua Nisa. Malam itu kau resmi melamar Nisa. Kau akhirnya memutuskan menyudahi masa dudamu. Di ruang tamu, kau duduk berpegang lutut. Ibu Nisa sangat ramah. Entah ayahnya.

“Kamu yang mau melamar Nisa?” tanya kecut ayah Nisa.

“Iya, Om,” jawabmu gugup.

Kau dan Nisa saling memandang. Tersenyum getir. 

***

T A M A T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar