Senin, 19 Juni 2023

[Cerpen] Lelaki di Balik Raungan Mesin oleh Imi Fadhil



Gambar: Canva Apk.

Bapak menangis tersungkur di lutut Emak. Tak biasanya Bapak seperti itu. Sementara Ibu, berada di samping Bapak. Memaku di lantai. Muram. Menelan suara. Entah kabar buruk apa yang hendak disampaikan Bapak siang itu. Aku mengintipnya di balik jendela kamar. Aku mencoba menyimak kata demi kata yang keluar dari mulut Bapak. 

“Semuanya habis, Mak.” Bapak membuka suara.

“Apa yang habis, Jang? Coba tenang dulu!” tanya Emak heran.

Bapak masih terengah-engah mencoba meredam emosinya. Meredakan tangisnya. 

“Sebentar, ya Jang!” seru Emak ke Bapak.

Bapak mengangguk. 

Tak lama, Emak muncul dari dapur. Emak menyodorkan segelas air putih untuk Bapak. 

“Minumlah!” pinta Emak.

“Hatur nuhun!” Bapak berterima kasih.

Bapak meneguk airnya perlahan. Sampai habis, tak tersisa setetes pun. Tampak sekali Bapak haus. Maklum perjalanan dari Cikutra ke Pagarsih cukup memakan waktu. Bapak meletakkan gelas di samping tempat duduknya. Bapak menghela napas panjang. 

“Ruko saya di Cikutra kemalingan, Mak.” Bapak menjelaskan.

“Innalillahi..” prihatin Emak.

“Tiga mesin jahit dan tiga mesin obras habis dicuri. Tinggal satu mesin jahit tua saja yang tertinggal,” terang Bapak menambahkan.

Aku masih diam di balik jendela. Aku hanya bocah SD. Tak sungguh-sungguh mengerti apa yang telah terjadi. Namun, bisa kutebak dari raut wajah Bapak, Ibu, dan Emak mereka sungguh sedih. 

***

Dua tahun yang Lalu. 

Bapak mendapat warisan sehampar sawah. Bapak menjualnya untuk modal membuka usaha jasa tailor di daerah Cikutra. Aku masih ingat namanya “Mukhlis Tailor” diambil dari nama panjang kakakku, si sulung. Keahlian Bapak memang di bidang itu. Sedari kecil Bapak sudah harus merantau dari Cilacap ke Kota Bandung. Bapak ikut paman bekerja. Dulu daerah Dago sudah cukup ramai walaupun tidak seramai sekarang. Terkenal daerah kampus dari dulu. Bapak membantu Paman menjahit pakaian. Maka dari itu, keahlian Bapak tidak bisa diragukan lagi. 

Namun, nasib baik belum berpihak pada Bapak dan keluarga kami. Bapak pernah punya beberapa karyawan. Bapak mendidik dan mengajarkan ilmu menjahit kepada mereka dari nol. Salah seorang karyawan malah curang. Setelah mereka bisa malah kabur. Bapak memang terlalu baik. 

“Yuk, Nak kita ke Bapak!” ajak Ibu suatu hari.

Aku mengangguk senang. Aku senang karena aku akan jalan-jalan bersama Ibu dan adikku yang masih bayi. Aku juga tak sabar bertemu Bapak. Sudah lama Bapak tak pulang. Makanya Ibu menyusul Bapak. 

Ibu menggendong adik dan menuntunku menuju Jamika. Di sana kami akan naik angkot berwarna oranye. Ibu pun melambaikan tangan kanannya setelah melihat ada angkot yang dituju. Angkot pun berhenti. Kami cepat-cepat menaikinya. Aku senang melewati jalanan yang masih lenggang. Banyak pohon rindang di kanan-kiri jalan. Sejuk rasanya. Aku suka Bandung tempo dulu. 

“Yuna, bangun!” Ibu menggoyang-goyangkan badanku. 

“Iya, Bu…” sahutku lemah.

“Sebentar lagi sampai,” ungkap ibu.

Aku mencoba memaksa membuka lebar mataku yang sipit. Benar saja kami sudah sampai di tempat tujuan.

“Kiri, Mang!” seru Ibu.

Sopir angkot pun memberhentikan kendaraannya. Tepat di kiri bahu jalan. Ibuku merogoh uang recehan. Ibu memberikannya ke sopir lewat jendela depan. 

Di sebrang sana sudah terlihat ruko Bapak. Bangunan kecil di antara toko dan rumah mewah. Tampak tulisan besar di kaca bangunan itu. “M-U-K-H-L-I-S T-A-I-L-O-R” aku mengejanya.

Tanganku digenggam erat oleh ibu. Ibu melirik ke kanan dan kiri jalan raya. Setelah memastikan jalanan tak ada kendaraan lewat. Kami menyebrang. 

“Assalamu’alaikum!” ucap Ibu.

Bapak tampak sedang bekerja di balik raungan mesinnya. Raungan mesin menenggelamkan suara Ibu. Suara Ibu yang parau tak bisa menandingi deru mesin jahit Bapak.

Ibu mengulangi salamnya, “Assalamu’alaikum!” Kali ini lebih keras.

“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh!” Bapak agak terkejut.

Bapak berdiri. Aku bergegas menuju pangkuannya. Lalu memeluknya erat. Lalu Bapak menggendongku.

“Yuna, putri Bapak!” 

Kumisnya yang tipis menggelitik pipiku. 

Ibu mengecup tangan Bapak. Bapak menurunkanku dari pangkuannya. Lalu meraih adikku. Bapak menimangnya. Ibu juga menyapa karyawan Bapak dan bersalaman tanpa bersentuhan.

Ibu dan Bapak berbincang serius. Aku tak mau tahu apa yang mereka perbincangkan. Aku mengajak bermain adik yang dibaringkan di bawah. Namun, aku cepat bosan. Aku pun mengganggu Bapak.

“Bapak, mau jajan,” rengekku menarik-narik baju Bapak.

Bapak tak pernah menolak keinginanku. Apalagi hanya sekadar mau jajan. Bapak menggendongku. Aku memang sudah empat tahun, tapi Bapak masih menggendongku. 

“Mau apa?” tanya Bapak setelah sampai di toko sebelah rukonya.

Aku meraih permen nano-nano. Entahlah aku pikir itu adalah permen terenak di dunia. Kalaupun masih ada permen itu hari ini. Tak seenak dulu. Aku masih ingat slogan iklannya. “Manis, asam, asin, ramai rasanya!”

Kami kembali ke ruko Bapak. Aku dan Ibu merebahkan badan di samping adik. Di sebuah kamar sempit. Bapak melanjutkan pekerjaannya. Mengayuh mesin jahitnya. Derunya membuat kami gagal memejamkan mata. Namun, tidak dengan adik. Dia sangat menikmati suara berisik itu. Pulas sekali. Mungkin dianggapnya lagu nina bobo. 

“Teng! Teng! Teng! Teng! Teng!”

Suara tiang listrik yang dipukul bersahutan dari kejauhan. Kaki Bapak serentak berhenti. Begitu pula karyawan Bapak. Bapak segera keluar ruko melihat apa yang terjadi. 

“Ibu!” aku mendekap Ibu ketakutan.

 “Ayo, kita keluar!” ajak Bapak panik.

Ibu menggendong adik dan setengah menyeretku keluar kamar. Bapak langsung meraih lalu menggendongku. Ku lihat Bapak sempat mematikan aliran listrik dari sikringnya. Lalu meneyebrangkan Ibu sambil menggendongku. 

Ada percikan api di kabel listrik yang melintang di pinggir jalanan. Sekitar lima meter dari ruko Bapak. Kami diam di seberang jalan cukup lama. Bukan hanya kami saja. Orang-orang yang ada di sekitarnya pun berhamburan keluar. Bergerumul di tempat yang aman. Sepertinya petugas PLN segera memutus aliran listrik di daerah itu. Mungkin ada yang melapor. 

“Sudah aman,” terang Bapak. 

“Alhamdulillah!” Ibu mengusap-usap dadanya.  

Kami pun bubar dari kumpulan orang-orang. Kami kembali ke ruko Bapak. Listrik masih mati. Petugas PLN nampak sigap memperbaiki kabel listrik yang menagalami konsleting.

Hari makin sore. Di ruko Bapak gelap karena tak ada cahaya masuk.

“Kalian pulang sekarang, Ya!” lirih Bapak.

“Iya, Pak.” Ibu mengangguk.

“Nanti Bapak menyusul besok,” janji Bapak. 

Bapak mengepalkan segenggam uang pada tangan Ibu. Kami berpamitan pulang.

***

Setelah peristiwa kemalingan itu, Bapak menjual ruko. Bapak bekerja serabutan. Bapak ikut bekerja dengan Mang Sopyan—seorang supplier jaket dan topi. Jaket dan topinya dipasarkan di koperasi-koperasi pemerintahan di dalam dan luar pulau Jawa. Bapak yang menagih uang ke luar kota. Kalau berhasil membawa uang, Bapak kebagian. Kalau tidak, ya bablas. Nihil. Bapak pernah kehabisan ongkos di Kota Solo. Sampai-sampai minta bantuan polisi untuk bisa pulang ke rumah. 

Bapak pun alih profesi dengan berjualan celana perca yang dibuatnya sendiri. Tak juga berhasil. Bapak pernah juga menjajakan barang dagangan punya tetangga. Bapak menjualnya di pasar Astana Anyar setiap pagi. Aku pernah ikut bersama Bapak. Naik ke gerobak dagangan. Ikut menjajakan mug-mug di kaki lima. Hasil penjualan setiap harinya sangat minim. Tak jarang Bapak pulang tanpa ada satu pun dagangan yang terjual. Apa pun pernah dilakoni Bapak demi bertahan hidup. Menafkahi kami sekeluarga. 

Bapak pernah jadi pedagang asongan: jualan kopi dan rokok; berdagang tahu Cibuntu; menjual sayuran; menjual pakaian jadi; dan lain-lain. Aku pun lupa saking banyaknya yang Bapak coba. Semuanya belum berbuah hasil. Hidup terasa susah. Ini ujian bagi keluarga kami. Namun, kami bersyukur. Kami masih bisa makan. Kami masih bisa beribadah. Itu nikmat yang luar biasa. 

“Bu, Bapak mau menjahit lagi.”

Ibu hanya diam. Tak merespon perkataan Bapak. Ibu juga tak menghentikan kegiatannya melipat pakaian yang sudah kering dijemur. 

“Bapak bisa menjahit di pinggir jalan. Menerima permak atau memotong kain,” tambah Bapak panjang lebar.

Ibu sejenak terdiam memandang langsung kedua bola mata Bapak. 

“Ibu minta cerai,” tegas Ibu.

***

T A M A T

***

Catatan: 

Cerpen ini merupakan salah satu cerita dalam antologi Selaksa Rasa tentang Lelaki dari AE Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar