Senin, 19 Juni 2023

[Cerpen] Barak Pengungsian oleh Imi Fadhil



Gambar: Canva Apk.
Barak Pengungsian
Hujan tak henti-hentinya mengguyur Bandung sepanjang malam. Sebenarnya ada jeda walau tak lama. Hujan lebat. Reda. Hujan lagi. Reda. Sampai Subuh menjelang, langit gerimis. Padahal Imlek sudah lewat. Ya, mungkin musim penghujan benar-benar sudah datang. 
Manusia tak pandai bersyukur. Selalu mengeluh dan berpikiran negatif. Tuhan beri panas, "Yah, panas!" keluhnya. Tuhan kasih hujan, "Yah, hujan!” 
Anisa yang di kamar indekos sendirian, sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. 
Tingtong! Suara notifikasi ponsel berbunyi. Anisa tak terlalu menghiraukannya. Sebuah berita masuk seperti biasa. Berita yang kadang tidak dijamin kevalidannya. Namun, kali ini Anisa penasaran. Gadis itu pun melirik gambarnya. 
Sebuah sekolah yang sangat Anisa kenal terendam banjir parah. Deg. Anisa terperanjat, ingat emaknya di kampung halaman. Perempuan renta yang sangat ia sayang. Terlebih setelah ibunya memutuskan untuk pergi menjadi TKW ke Dubai. Sebagai pengalihan karena depresi ditinggal bapaknya yang kabur dengan perempuan lain.
Kabar terakhir, Anisa melihat status ibunya di medsos. Beliau memamerkan rial yang didapat dari hasil kerjanya. Anisa tak peduli seberapa besar cuan itu. Rasa kesal lebih besar pada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia. Jika tak ada emak yang merawatnya, entahlah, Anisa akan jadi manusia seperti apa. 
Sepuluh tahun lalu. Hari yang tak mungkin Anisa lupakan.
"Mamah teh jangan pergi! Anisa di sini sama siapa?!" 
Bocah sembilan tahun menarik-narik baju ibunya sambil menangis sejadi-jadinya. Perempuan itu hanya menjawab Anisa kecil dengan satu kata, "Maaf!" 
Tangan mungil itu pun bersikeras ia lepaskan dari rok beludrunya. Raut mukanya jelas mengguratkan banyak makna. Sedih. Rasa bersalah. Ada pula marah pada keadaan. Namun, itulah pilihan ibu Anisa. Konsekuensi yang berat harus ia terima. Kehilangan anak gadisnya, terutama hormat dan sayangnya di kemudian hari. 
Anisa sangat terpuruk. Jatuh berderai-derai. Anisa tak lagi percaya pada cinta kasih. Kasih ibu yang katanya sepanjang hayat, baginya, hanya lirik lagu belaka. Syukurlah, Anisa segera bangun dari keterpurukan. Bagaimanapun juga hidup harus terus berjalan sebagaimana mestinya. Anisa harus bertahan. Melanjutkan kerasnya terpaan dunia. 
Anisa tumbuh dan berkembang lebih dewasa dari sebayanya. Anisa cukup pintar di bangku sekolah hingga diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Bandung. Dengan berat hati, Anisa keluar dari bilik neneknya. Hidup perih di sepetak kamar tak jauh dari kampusnya. 
"Hoream ah emak mah diajar nu kararitu. Hese. Emak mah geus kolot. Gaptek" 
Emak bilang malas kalau harus belajar yang begituan (hape). Emak sudah tua. Gaptek. 
"Gak papa atuh, Mak. Kalau nanti di kota, Anisa kangen kan tinggal telepon saja." rayu Anisa.
"Mun sono, nya ka dieu weh!" Emak tertawa memperlihatkan giginya yang tinggal empat. Katanya, kalau kangen, ke sini saja. 
Anisa gereget dan memeluk erat emaknya, "Ah, emak. Bisa aja" 
**
Anisa mencoba melakukan panggilan Whatsapp. Wajah emak tetap cantik walau sudah renta. Dibalut jilbab bunga-bunga warna cokelat. Tampak bahagia dipeluk cucu sematawayangnya dalam layar ponsel Anisa. 
Sepertinya WA emak tidak aktif sudah sejak dua hari yang lalu. Mungkin, habis kuota, pikir Anisa. Anisa pun mencoba melakukan panggilan biasa. 
"Nomor telepon tidak aktif, tolong coba beberapa saat lagi!" 
Hanya suara operator yang menjawab panggilan Anisa. Hati Anisa makin tidak tentram.
**
Di dalam sebuah kantor salah satu media online ternama di Indonesia dua orang lelaki mematung saling melempar pandangan yang bingung. Bingung memulai percakapan. 
Lelaki pertama sudah paruh baya, menggunakan pakaian kantoran, berkameja lengkap dengan dasi dan jas hitam agak berantakan. Lelaki kedua, muda dan lebih supel. Kemeja panjangnya dilipat sampai siku, bercelana jeans dengan kartu tanda pengenal mengalung di lehernya bertuliskan berikut. 
Nama : Muhammad Dzaki
Jabatan : Wartawan
Sang Bos pun membuka suara tanpa basa-basi. 
"Perusahaan sedang mengalami krisis sejak pandemi ini. Dengan berat hati kami harus memberhentikan kamu, kecuali...."
"Kecuali apa, Bos?" sambung Dzaki memberanikan diri menanyakan kalimat yang terputus tadi.
"Kecuali kamu membuat berita yang unik sampai media kita naik lagi ke puncak," jelas Si Bos.
**
Anisa tak pikir panjang lagi. Menjelang Subuh ia segera tancap gas mengendarai motor matik pinjam punya temannya yang satu kosan. Hanya dalam satu jam, Anisa bisa tiba di kampung halamannya. Namun, di jalan Anisa terperangkap di tengah hujan dan banjir cukup tinggi. Anisa pun menepi di sebuah rumah teman lama. Dengan senang hati, Cucu mempersilakan Anisa berteduh di rumahnya. Setidaknya sampai hujan reda, banjir agak surut.
Anisa disediakan kamar sendiri, walau tidak besar, tapi rapi dan nyaman. Namun, mata Anisa sama sekali tak bisa rehat. Emak. Emak. Hanya Emak yang ada di pikirannya. 
Tok! Tok! Tok! 
"Masuk aja!" lantang Anisa.
Cucu tergesa-gesa menghampiri Anisa. 
"Kamu sudah lihat video yang lagi trending?"
Anisa hanya menggeleng tak paham.
"Nih, kamu lihat saja sendiri!" Cucu menyodorkan ponselnya.
"Emak? Ini beneran emak?" tanyanya sendiri.
"Iya siapa lagi?" sela Cucu.
Sebuah video berdurasi 11 menit. Seorang pemuda menggendong nenek di tengah banjir setinggi dada dewasa ke barak pengungsian. Nenek itu tak lain adalah Emak. 
"Kamu malaikat berwujud manusia," komentar salah satu warganet.
"Aku sedang cari suami baik kayak kamu, Kang," timpal yang lain.
Begitu ramai komentar positif warganet. 
Banyak tanya di benaknya. Siapa pemuda itu? Kenapa mau menolong emak? yang jelas, Anisa wajib berterima kasih pada pemuda viral itu.
Hari mulai cerah. Air genangan sudah surut. Anisa langsung berkemas menuju barak pengungsian. Saat dihidupkan, motor tak mau jalan. Anisa baru ingat kalau motornya menerobos banjir. 
"Saya mau berangkat kerja, kamu ikut aja. Saya lewat barak pengungsian itu kok," ajak Yena—Kakak Cucu.
Anisa pun mengangguk lega. 
Sesampai di barak, Yena menyilakan Anisa untuk turun dan mencari emak. Tak butuh waktu lama, Emak sudah berbaur dengan korban banjir yang lain. Anisa setengah berlari, mendatangi emak, memeluk emak dengan hangat. Bahagia tak terkira. Syukur tak terukur. Anisa bisa melihat wajah keriput emak lagi. Anisa bahagia melihat emak sehat. Tak kurang sesuatu apapun.
"Emak butuh apa? Anisa menawarkan bantuan.
"Emak lapar," lirih emak.
"Tunggu sebentar," kata Anisa.
Anisa pun keluar mencari dapur umum untuk mencari pengganjal perut emak.
Tak disangka, Anisa melihat pemuda viral tengah bercakap-cakap. Anisa mencoba mendekati mereka.
"Makasih loh, Dzak! Kamu sudah mengangkat perusahaan. Kamu tak jadi diberhentikan. Malah kamu akan naik jabatan. Kamu mau bonus apa? Sebutkan saja! Ha!Ha!Ha!" Si Bos tertawa jumawa.
Anisa hanya bisa melongo menyimak percakapan dua lelaki tersebut.
***
TAMAT
***

*)Cerpen ini termasuk dari kumpulan cerpen dari What's Wrong With Anisa dari ajang lomba cerpen tokoh Anisa.

**) Penulis empunya nama asli Ilmi Fadillah. Suri rumah bahagia yang sudah dikaruniai tiga putri yang cantik salehah, insyaallah. Pemilik akun Instagram @imifadhil ini senang sekali menulis walau belum mahir dan masih terus harus belajar. Motonya, “Menulislah! karena manusia mudah lupa dan dilupakan” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar