Senin, 18 Mei 2020

Sesal di Penghujung luka


Dua sampai tiga hari, pikiranku menelusuri kejadian-kejadian beberapa bulan yang lalu. Tepatnya rangkaian ingatan saat tes SNMPTN itu berlangsung, ditambah sebelum dan sesudah tes tersebut.

"Mau pinjamnya berapa?" tanya pegawai BMT. 

"Dua ratus ribu rupiah, Teh."

Aku yang tengah duduk di depan meja admin menjawab malu-malu. Lalu aku menjelaskan untuk apa dan ke mana rupiah itu akan aku teruskan. Ahmad--temanku yang merekomendasikan untuk meminjam ke BMT yang berada di halaman sekolah itu. Aku sempat beberapa kali menabung di sana, tapi tak banyak. Tak cukup pula meski sekadar untuk membayar formulir SNMPTN.

Setelah memegang uang pendaftaran, aku pun bersama teman lainnya menuju Universitas Padjajaran, kampus Dipatiukur. Antrean berderet cukup panjang. Beberapa menit mendekati satu jam lamanya, tibalah aku di barisan paling depan. Aku lekas menyerahkan uang yang telah disiapkan dalam saku rok abu-abu. Mbak-mbak cantik itu pun memberikan 1 map kertas dan buku panduan sebesar buku kampus. Hanya lebih tebal. Di dalamnya terdapat formulir isian dan petunjuk serta daftar pilihan perguruan tinggi negeri (PTN) di seluruh Indonesia lengkap dengan jurusannya.

Kala itu hidup penuh dengan ujian. Bukan hanya ujian masuk PTN, tapi juga ujian hidup yang sesungguhnya. Ibu dan bapak mengalami kecelakaan motor yang menyebabkan keduanya tak bisa berjalan. Itu pula yang menyebabkan aku susah dan tak fokus melakukan apa pun.

Tempat tes pun dipilih panitia ujian. Aku kebagian di SMPN 14 di jalan Supratman. Sebelum hari itu tiba, aku harus pastikan tahu di mana ruang dan tempat duduk yang akan kutempati esok harinya. 

Biasanya bapak selalu siap sedia mengantarkanku ke mana pun. Namun, tak mungkin untuk kali ini. Aku pun memilih menaiki kendaraan umum. Naik bus Damri jurusan Leuwi Panjang-Cicaheum.

Aku sudah hafal betul lokasi tes karena setiap hari aku lewati kalau pergi atau pulang sekolah. Aku pun turun persis di persimpangan menuju jalan Supratman. Selanjutnya bisa naik angkot sekali lagi untuk tepat sampai di lokasi tujuan.

"Kiri, Mang! Kiri!" ujarku setengah berteriak. 

Mang supir pun menggerakkan angkotnya ke pinggir jalan lalu memberhentikannya. Aku rogoh saku celana dan memberikan recehan pada supir angkot.

Aku bergegas memasuki gerbang langsung tertuju pada papan pengumuman yang bertengger di halaman sekolah di balik pohon rindang. Kutelusuri kertas-kertas yang menempel pada papan triplek berlapis putih itu. Ada daftar nama peserta. Ada pula denah lokasi. Setelah menemukan apa yang kucari, aku lekas mencari di mana ruangan itu berada.

"Kamu tes di ruangan mana?" tanyaku seorang gadis manis berkucir kuda yang berdiri di sebelahku memandangi papan besar itu.

"Ruangan 11," balaski menyungging senyum. 

"Kebetulan aku juga sama, bareng yuk!" ajaknya.

"Ha ... Hayu!" Aku menerima usulannya agak terbata-bata.

Aku hanya merasa aneh. Aku belum kenal orang itu, begitu pun sebaliknya. Namun, dengan mudahnya dia mengajak orang lain. Tepatnya orang asing. Entahlah, seperti digiring untuk mengikutinya. Aku pun membuntuti gadis itu. Tak salah keputusanku untuk mengekornya. Kami langsung menemukan ruangan yang dicari.

"Nah, ini tempat dudukku." Dia tampak senang menemukannya. 

Aku pun tak lama mendapati meja dan kursi panasku. Barisan kedua di ujung sebelah kanan. Ternyata kami duduk bersebelahan. Kebetulan sekali.

"Oh, iya! Perkenalkan saya Sofi." Dia mengulurkan tangannya.

Kuraih tangan hangat itu, "Aku Ilmi! Salam kenal juga."

Tanpa diminta, ia bercerita panjang lebar. Ternyata Sofi adalah alumni SMPN 14. Sofi juga kenal Tama--teman sekolahku yang juga alumni sekolah ini. Bahkan, ia bergosip tentang Tama. Katanya, Tama banyak digandrungi para siswi. Ya, pantas saja Tama memang anak yang tampan, pintar, jago bermain basket, dan pandai bersosialisasi. Termasuk Sofi juga mengagumi sosok Tama juga. Tama sudah tenang masuk ITB dengan beasiswa penuh. 
Oke berhenti membicarakan soal Tama. Tidak penting. Bukan tokoh utama dalam cerita ini.

Aku dan Sofi pun berpisah. Sofi sepertinya merasa cukup telah mengetahui tempat duduk untuk tes esok pagi. Sementara aku masih ingin memastikan letak toilet dan musala atau masjid di lingkungan sekolah ini. Siapa tahu aku membutuhkannya besok. Banyak petunjuk di kertas-kertas terpampang tanda panah dan bertuliskan toilet dan musala. Sehingga mudah saja untuk menemukannya.

Aku menuju toilet, lalu menuju musala. Dua rakaat salat syukrul wudhu sukses membuat hati ini tenang. Alhamdulillah. Kulanjutkan dengan memohon kemudahan dan kelancaran untuk tes besok. Aku minta yang terbaik, Robb. Aku selalu ingat nasihat Pak Risydi sebelum tes berlangsung. "Do your best, save the rest for Allah."

Empat ke lima hari mulai merenung dan flasback kejadian sebelumnya. Jauh sebelum tes ujian itu.

"Percuma pinter dan masuk ITB atau UPI, tapi durhaka pada orang tua. Gak akan berkah!" teriak ibu dengan penuh murka.

"Astagfirullah!"
Tetiba aku tebangun. Kalimat itu sungguh mencabik-cabik kalbu. Sampai terbawa mimpi. Ya, itu adalah serapah yang keluar dari mulut wanita mulia. Bagaimana aku bisa mengabaikannya.

"Astaghfirullah! Astaghfirullahal 'adziim" Aku mengulang-ulang istigfar. Ampuni aku ya Allah. Maafkan aku ibu. Aku sungguh menyesal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar