Fenomena Gerhana Matahari total sangat jarang terjadi. Terakhir, terjadi 21 tahun sebelumnya. Antara takjub akan kuasa Allah dan takut apakah Allah masih memberikan kita kesempatan untuk hidup. Ya, kalau Allah berkehendak dunia bisa hancur saat itu juga.
Pada hari itu disunahkan untuk salat, zikir, dan sedekah. Aku sudah berniat salat ke masjid. Namun, kabar duka hadir di tengah kami. Suami Wak Iyam yang sudah lama terkena stroke, meninggalkan kami untuk selamanya.
Kami pun bertolak ke Sumedang dengan kendaraan roda empat agar kami semua bisa ikut. Jalanan sungguh berbeda sari biasanya. Matahari yang harusnya menyinari bumi, terhalang oleh rembulan dengan sempurna menjadikan langit lebih gelap dari seharusnya.
Jalanan lenggang membuat perjalanan kami lancar tanpa hambatan. Hanya menempuh waktu dua jam saja. Kami masih sempat menyalatkan beliau. Sementara para pria ikut sampai menguburkan.
Wak Iyam begitu terlihat tegar. Ikhlas denahn segala ketentuan Sang Pemilik hidup. Namun, kami bermaksud membawa pulang Emak ke Bandung. Dengan dalih, Wak Iyam harus banyak istirahat.
Kali ini Emak pun ikut apa saran kami. Kondisi Emak tidak se sehat dulu, tapi wajahnya begitu segar dan makin bersinar-bersinar. Aku sempat beberapa menginap di rumah Ibu. Kata Ibu, Emak hari itu mau mandi. Ibu pun memandikan Emak.
Di tengah kondisinya yang sudah uzur, tapi masih peduli dan memerhatikan aku--cucunya.
"Cu, sudah makan?"
"Iya, Mak."
"Nyi.." panggil Emak ke Ibu. "Suruh si teteh makan. Dari tadi belum terlihat makan."
"Sudah besar, Mak. Bisa ambil sendiri kalau sudah lapar."
"Kasian, takut lapar. Lagi nyusuin pula"
Dasar Emak. Cerewetnya masih sama saja. Emak juga ingin menggendong buyutnya--anakku yang masih bayi.
"Sini, simpan bayinya di pangkuan Emak."
Emak tampak senang tak terkira. Sayang, memori itu hanya direkam oleh netra dan otakku saja. Aku pun pulang seperti biasa.
Hari Ahad, aku seharusnya berangkat untuk lomba menulis di daerah Pamengpeuk. Namun, suami tak mengizinkan.
Hari itu, hati ini tak enak, tidak karuan. Entah kenapa. Padahal siang itu ramai pesan di grup kalau tulisanku terpilih jadi juara 3. Namun, telepon pamanku ke nomor ponsel suami membuatku tidak fokus. Apalagi saat ekspresi wajahmya berubah. Emak sesak lagi, dan Ibu dan anak-anak Emak hendak membawanya ke rumah sakit.
Tak lama, telepon berdering kembali. Raut wajah suamiku lebih kaget dari telepon pertama.
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un"
Mendengar kabar pahit itu. Maunya aku berteriak. Meratap. Namun, Emak pastilah sedih bila aku seperti itu.
"Mi, ini hadiah dan pialanya. Selamat ya!" ucap kakak iparku yang mewakiliku mengambil piala.
Aku mengambilnya dengan air mata bercucuran sembari sesenggukan.
Kata Ibu, sengaja tak memberitahuku saat hendak membawa Emak ke rumah sakit. Itu mau Emak agar aku tak khawatir. Baju terakhir yang Emak kenakan adalah kain pemberian terakhir dariku yang dijahit Bapak.
Begitu berat merangkai kata, menggali kembali duka masa itu. Tangan ini sampai kaku untuk menulis bagian ini. Hapus. Tulis. Hapus lagi. Bagaimana menuliskannya. Aku harus mulai dari mana. Aku bingung. Sungguh, bagian tersulit bagiku untuk mengenang kembali episode kehilangan ini.
*selesai
#PanahKompilasi14
#komunitasliterasi
#komunitasliterasipemudipersis
#penamuslimah
#panahkompilasi
#pemudiroadtomuktamar
#kolektifkolaboratif
#pemudicerdasberakhlakulkarimah