Senin, 20 Januari 2020

Terima Kasih, Sayang!


Gambar: by Canva

Saya pernah mengikuti sebuah seminar tentang pernikahan. Pembicara saat itu adalah pasangan suami istri: Al-Ustadz Tatan Ahmad Santana dan Ustadzah Lela Sa'adah. Seseorang ditunjuk ke depan dan diwawancarai kebetulan pemuda itu baru saja menikah.

"Dulu apakah si dia (istri) pernah membiayai sekolah?"
"Tidak," jawabnya.
"Lantas siapa?"
"Orang tua."
"Setelah sekarang bisa berkerja dan menghasilkan uang dikasih ke siapa?"
"Istri."
"Aduh, enak ya. Tidak membiayai sekolah, tapi hasil dari sekolah tiba-tiba dikasih ke si dia."

Kurang lebih seperti itu percakapan pemateri dengan salah satu peserta. Pemateri menjelaskan itulah makanya pernikahan itu pekerjaan orang beriman. Terkadang tidak dimengerti akal, tapi wajib mengimaninya.

Siapa yang pernah atau bahkan sering mengeluh akan kekurangan suami?
Mungkin saja pernah, termasuk saya. Saat pekerjaan rumah tangga yang berat dan sibuk mengurus anak-anak, ingin sesekali dibantu suami. Namun, suami kita rasakan kurang peka dan terkesan cuek. Terkadang kita sudah blak-blakan minta tolong, katanya mengiakan, tapi nyatanya tidak dikerjakan. Akhirnya kita juga yang menyelesaikan semuanya. Walau agak sedikit dongkol.

Namun, Bunda... Jika kita telanjur kesal coba lihat sedikit saja pengorbanan suami-suami kita dalam mencari nafkah. Masyaallah, pasti akan merasa bersalah sudah menginginkan lebih dari itu. Itu juga yang saya rasakan kemarin. Ya, beberapa hari yang lalu. 

Saya tengah mengandung, dan kebetulan sedang sakit. Setelah makan obat saya terlelap tidur. Tetiba terbangun di tengah malam. Badan serasa sakit semua, terutama bagian yang sakit. Kepala pun juga nyut-nyutan. Kesal sekali menunggu suami yang masih bekerja. Saya pikir sudah malam, waktunya di rumah.

Sekitar satu jam berlalu, suami pun muncul. Saya sambut dengan wajah cemberut karena kesal. Suami bersih-bersih dan menghampiri. Langsung membetulkan posisi tidur. Memijat seluruh badan, sampai kepala yang sakit. Sampai saya pun tertidur kembali.

Pagi pun tiba, seperti biasa membeli bibir untuk sarapan karena belum bisa makan yang lain. Saya minta dibangunkan dengan mengulurkan tangan.

"Yang bener dong!" Saya protes karena suami terkesan asal.
"Ini lagi sakit," uangkapanya.
"Sakit apa? Kenapa?" Saya penasaran. 

Muka saya pun berubah prihatin. Tangan kirinya terlihat bengkak. Suami memperlihatkan bekas lukanya. Ada tiga goresan yang cukup dalam di ketiga jarinya. Suami tidak bercerita panjang, seperti tidak penting dan tidak parah.
Setelahnya saya mendengar cerita lengkap dari adik ipar yang semalam melihat kejadian. Luka itu karena goresan seng saat bekerja di bengkel. Banyak sekali darahnya, tapi bekasnya sudah dipel. Kejadian sekitar pukul 10 malam. Saat saya sedang lelapnya tidur.

Suami tidak membangunkan karena mungkin takut mengganggu saya yang sedang sakit. Berarti setelah luka itu, suami lanjutkan bekerja kembali. Bahkan sempat setelah memijat mengganti lampu kamar mandi yang sudah mulai redup.
Maasyaallah, saya merasa keterlaluan sekali. Pagi itu setelah mengantar anak sekolah. Saya biarkan suami tidur kembali istirahat. Saya pandang wajah lelahnya. Saya usap rambut dan kecup keningnya tanpa ia sadari.

Terima kasih, Uhibbuka fillah.

"Jangan pernah remehkan kasih sayang seorang suami. Jika kita tahu sedikit saja pengorbanannya dalam mencari nafkah. Sejatinya kita hanya tahu sedikit saja perjuangannya untuk kita dan keluarga."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar